Genevieva Misiatini Oetomo

download.jpeg

20 tahun yang lalu saat anaknya, Bimo Petrus, izin meninggalkan kuliahnya di Surabaya untuk menjadi mahasiswa dan aktivis di Jakarta, Ibu Misiati terus melarangnya. Namun suaminya, Pak Oetomo Raharjo (Tomo), justru memberi izin.

"Kalo itu pilihanmu, baik dan benar, berangkatlah kamu. Selama imanmu masih jernih, sekecil apapun kamu, pasti diselamatkan oleh Tuhan," pesan Pak Tomo saat Bimo pamit. Pak Tomo bermaksud memberikan dukungan moral, doa dan semangat untuk perjuangan Bimo. Untuk perubahan yang Bimo inginkan di negeri ini. Sebaliknya, Ibu Misiati terus menahan Bimo agar tidak pergi. Tetapi Bimo tetap pergi dan tak pernah kembali.

Perubahan besar itu terjadi, membawa kebaikkan dan kemewahan untuk negeri ini. Kita semua sedang menikmati kemewahan itu, seperti kebebasan mengkritik pemerintah atau sesederhana menulis di wall Facebook kita ini tanpa rasa takut. Sayangnya, kita harus mengorbankan Bimo dan teman-teman seperjuangan Bimo. Bahkan kita harus mengorbankan para orang tua yang kehilangan anak tersayang mereka. "Separuh usiaku untuk membesarkan anakku. Separuh jiwaku terus sepi menunggu dia kembali..." kata Ibu Misiati di sela-sela perjuangannya mendapatkan anaknya kembali.

Hari ini Ibu Misiati telah berpulang. Ia tidak perlu lagi berjuang dan menunggu anaknya kembali. Ia sedang memeluknya, melepas rindu dan bercerita betapa selama ini jiwanya terus sepi menunggunya kembali.

Selamat jalan Ibu Misiati. Terima kasih telah membesarkan anak yang mampu mengubah negri ini menjadi jauh lebih baik. Terima kasih atas perjuangannya mendapatkan keadilan selama 20 ini. Selamat beristirahat, biarkan kami yang meneruskan perjuanganmu ini.

Baca juga: "Ayah Bimo Petrus: Saya Bangga Punya Anak Seperti Bimo"

Kesenjangan Sosial Dampak dari Keterbatasan Informasi

Kesenjangan Sosial Dampak dari Keterbatasan Informasi

Kita semua sangat yakin bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya untuk dapat mensejahterakan setiap penduduknya, setiap individunya. Masalahnya hanya ketidakmampuan pemerintah dalam memeratakan kesejahteraan sehingga menyebabkan kesenjangan itu terjadi. Dan ketidakmampuan ini berawal dari keterbatasan rakyat menerima informasi.

Pada dasarnya, rakyat dapat sejahtera dimulai dari kemampuannya mengetahui hak-haknya. Sekali rakyat tahu mengenai hak-haknya dan percaya diri untuk memperjuangkannya, maka cepat atau lambat kesejahteraan akan mereka dapatkan. Tetapi jika rakyat tidak memiliki informasi apapun, tidak tahu bahwa mereka memiliki hak, tidak tahu apa yang sedang pemerintah rencanakan untuknya, maka rakyat tidak akan menyuarakan pendapat dan kebutuhannya. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan yang mereka butuhkan dan tidak akan sejahtera. Jadi, bagaimana pemerintah selama ini memberikan informasi kepada rakyatnya?

Read More

40 Jam Sebelum Jokowi Menemui Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan Pendapat Saya

Selasa, 29 Mei 2018

Sebanyak 22 ahli hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mendapat undangan untuk Dialog Hukum dan HAM bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka pada Rabu, 30 Mei 2018 pukul 16.00 WIB.

Rabu, 30 Mei 2018

Para undangan hadir di Istana Merdeka untuk berdialog dan berbuka bersama Jokowi. Perlu dicatat, usai berbuka, Wiranto meninggalkan acara. Tidak seperti Jokowi dan lainnya, yang tetap kembali ke acara untuk berdialog usai sholat Maghrib.

Walaupun demikian, dialog tetap berjalan. Namun sejak awal dialog berbentuk pujian kepada Jokowi. Sampai akhirnya Jokowi memotong dialog dan meminta para undangan untuk memberi masukan atau bahkan kritikan. Walaupun demikian, masukan yang datang tetap sebuah pujian dan tidak ada kritikan.

Sampai di penghujung acara, saat dialog sudah ditutup oleh Koordinator Staf Khusus, Teten Masduki, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, meminta diberi kesempatan berbicara yang terakhir. Jokowi setuju dan mempersilakan Usman menyampaikan beberapa hal:

Read More

"Saya Tak Salah, Jadi Saya Tak Kapok"

Sri Sulistyawati.jpg

(Find English translation below)

Saya menyesal setengah mati. Ingin rasanya kembali ke hari itu, tepatnya saat International Women’s Day. Saat saya menelpon rumah sakitnya dan menerima kabar baik bahwa ia sudah sehat, sudah kembali ke panti jompo tempat ia tinggal. Seharusnya saya langsung bergegas ke panti jomponya yang sangat dekat dengan kantor saya. Datang menemuinya, memeluknya, menggengam tangannya sambil mendengarkan kisahnya, mempelajari perjuangannya, meniru keberaniannya, dan akhirnya pulang untuk menulis lalu menyebarkan kisahnya. Seharusnya saya langsung menemuinya sebagai bentuk solidaritas sebagai sesama perempuan, sesama penulis. Tapi betapa tololnya saya yang selalu mengira ada hari esok. Maka hari ini - hari yang selalu saya anggap “hari esok” - pun datang. Hari ini ia meninggal.

Ia adalah korban kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia tahun 1965. Ia seorang wartawan Suluh Indonesia Muda yang dituduh memiliki hubungan dekat dengan Soekarno maupun terlibat Gerwani alias komunis. Ia dipenjara dan disiksa selama 11 tahun agar mengakui keterlibatannya. Padahal ia hanya lah seorang penulis seperti saya. Seorang penulis yang memiliki kesempatan untuk dekat dan mewawancari presiden. Namun ternyata kesempatan dan bakatnya membuat dirinya bernasib buruk. Harus melewati hidup berpindah-pindah, kehilangan suaminya yang dieksekusi, ditangkap, disiksa, dipenjara belasan tahun hanya karena menulis. Nasibnya jauh dari nasib saya yang masih disini, masih hidup tenang dalam kemewahan yang saya sebut “kebebasan berekspresi.” Dan saya - yang sangat beruntung ini - telah melewati kesempatan untuk berada di sisinya, menjadi temannya. Tak hanya sebagai pendengar, namun juga sebagai pemberi konfirmasi bahwa ia tidak sendiri dan ia tidak salah. Saya melewati kesempatan itu dan saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri.

Namanya Sri Sulistyawati, biasa dipanggil Eyang Sri. Hari ini Eyang Sri meninggal di usia 78 tahun. Bertahun-tahun ia berjuang mendapatkan keadilan, namun di hari ia meninggal pun ia belum juga mendapatkannya. Namun saya pun yakin Eyang Sri meninggal dengan tenang karena ia sudah berjuang. Apapun masalahnya, apapun hasilnya, jika kita sudah berusaha dan berjuang kita tidak akan menyesal. Dalam sebuah wawancara dengan CNN ia pernah berkata, “Saya tak bersalah, jadi saya tak kapok berorganinasi.” Paling tidak ia tahu ia tak bersalah dan paling tidak ia hidup dalam keberanian tanpa penyesalan. Dan itu membuat saya sedikit lega. Rest in peace, Eyang Sri. Saya berjanji akan menulis tentangmu lagi.

                                                                            ***

I regret it. I want to go back to that day, on the International Women's Day. When I called the hospital and received the good news that she was well, she just returned to the nursing home where she lived. I should have rushed to her nursing home, near my office. I should have come to her, hug her, hold her hand while listening to her story, understand her struggle, learn from her courage, and in the end write and spread her story. I should have come to her as a solidarity between women, between writers. But I am such a fool who always thought there’s always a tomorrow. So today - the day that I called ”tomorrow" - came. Today she passed away.

She is a victim of  human rights violations in 1965. She is a journalist of the Suluh Indonesia Muda who was accused of having close relations with President Sukarno and involved Gerwani or communist. She was jailed and tortured for 11 years to “confess” her involvement in 1965 tragedy. Although she was just a writer like me. A writer who has the opportunity meet and interview the president. But turned out the opportunity and her talent are a bad luck for her. She must go through a sedentary life, losing her husband who was executed, she was arrested, tortured, jailed for years just because of her writing. Her fate is far from mine, who is still here, still living in luxury I called “freedom of expression. “And I - this very lucky one - has passed the chance to be by her side, to be her friend. Not only to listen and understand her, but also to give her a confirmation that she is not alone and she did nothing wrong. I passed that opportunity and I will never forgive myself.

Her name is Sri Sulistyawati, we called her Eyang (Grandma) Sri. Today Eyang Sri died at the age of 78 years old. For years she fought for justice and even on the day she died she had not got it. But I am sure Eyang Sri died peacefully because she has tried, she stood up for herself. Whatever the case, whatever the outcome, if we have tried and fought for it, we will not regret it. In an interview with CNN she once said, "I did nothing wrong, so I am not afraid to be active in organizations again.“ At least she knows she did nothing wrong and at least she lives in courage without regret. And it made me a little relieved. Rest in peace, Eyang Sri. I promise to write about you again.

When a Boy Tried to Impress a Girl and Became a Global Movement

225035.jpg

(Find English translation below)

Ini semua dimulai di Polandia, saat seorang cowok remaja mencoba untuk mengesankan seorang cewek taksirannya. Mereka bertemu di sebuah festival dan si cewek menceritakan kepadanya tentang sebuah festival 24 jam di Afrika, di mana orang-orang bersama-sama menulis surat protes kepada pemerintah. Terinspirasi oleh kisahnya - dan ingin bertemu lagi dengan si cewek - dia mengundangnya ke grup Amnesty setempat, di mana mereka memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Ide itu mengesankan dan dalam setahun, Write for Rights (Menulis untuk Hak Asasi), menjadi fenomena dunia. Itu tahun 2002. Hari ini, Write for Rights adalah acara hak asasi manusia terbesar di dunia, dan untuk tujuan baik. Selama bertahun-tahun, kampanye ini telah membantu membebaskan setidaknya 48 orang yang dipenjara dengan salah. Itu artinya ada 48 kehidupan yang akhirnya diperbarui dan mendapatkan perubahan.

Yecenia Armenta (gambar di atas) adalah salah satu cerita selama 15 tahun terakhir. Dia dibebaskan dari penjara pada bulan Juni 2016. Awalnya dia ditahan pada 10 Juli 2012, dia dipukuli, mendapatkan penyiksaan hingga hampir mati lemas dan diperkosa selama 15 jam, dipaksa untuk "mengaku" terlibat dalam pembunuhan suaminya. Para pendukung Amnesty pun mengambil tindakan dengan bergabung dalam 300.000 aksi Stop Torture (Hentikan Penyiksaan) dan Write for Rights dari kami untuk Yecenia. "Ketika saya menerima semua surat ini, surat yang mengatakan bahwa saya tidak sendirian,” katanya, “Itu membuat saya merasa lebih baik. Dan saya berpikir: 'Ya, itu benar, saya tidak sendirian.'" Terima kasih kepada jutaan pendukung seperti Anda di seluruh dunia.

Terkadang sebuah surat dapat mengubah hidup seseorang. Itulah premis dari Write for Rights, kampanye penulisan surat Amnesty.

Baca cerita lainnya di: https://www.amnesty.org/…/11/15-big-wins-for-write-for-rig…/

***

It started in Poland with a young man trying to impress a young woman. He met her at a festival and she told him about 24-hour events she’d been to in Africa, where people wrote letters of protest to governments. Inspired by her story – and wanting to see her again – he invited her to his local Amnesty group where they decided to do the same thing.

The idea caught on and within a year, Write for Rights grew into a global letter-writing phenomenon. That was 2002. Today, Write for Rights is the world’s biggest human rights event, and with good cause. Over the years, the campaign has helped free at least 48 people from wrongful imprisonment. That’s 48 lives renewed and transformed.

Yecenia Armenta (pictured above) is one of the story from the last 15 years. She was freed from prison in June 2016. Detained on 10 July 2012, she was beaten, near-asphyxiated and raped during 15 hours of torture until she was forced to “confess” to being involved in her husband’s murder. Amnesty supporters took some 300,000 actions for her as part of our Stop Torture and Write for Rights campaigns. “When I receive all these letters saying that I’m not alone,” she said, “it makes me feel great. And I think: ‘Yes, it’s true, I’m not alone.” Thanks to millions of actions by people like you in almost every part of the world.

Sometimes a letter can change someone’s life. That’s the premise of Write for Rights, Amnesty’s global letter-writing campaign.

Read other stories here: https://www.amnesty.org/…/11/15-big-wins-for-write-for-rig…/

LGBT Bukan Penyakit

Bagi Anda yang masih saja seenaknya melabeli LGBT sebagai penyakit, tolong sempatkan membaca buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (terbitan Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization PBB). Buku bisa dicari di perpustakaan universitas ternama di Indonesia, salah satunya Universitas Gadjah Mada. Bahkan ada beberapa PDF-nya jika dicari di Google. Buku yang ditulis berdasarkan temuan ilmiah (bukan sekedar pendapat tanpa bukti) mengatakan orientasi homoseksual tidak dianggap sebagai gangguan. Selain itu, buku diagnosis ini menyetarakan homoseksualitas dan biseksualitas dengan heteroseksualitas. Jadi jangan asal bicara bahwa homo itu penyakit.

Anda yang kerap melecehkan LGBT karena takut “tertular penyakit” hanya termakan isu orang-orang tak berilmu, tidak berbicara sesuai fakta. Jika Anda tidak terlahir memiliki orientasi seksual LGBT, Anda tidak akan pernah terpengaruh menjadi LGBT. Anda siapa bisa mencap orang lain gila atau berpenyakit butuh diobati jika Anda bukan seorang dokter penyakit jiwa atau psikolog? Jika Anda seorang muslim, ingat, Allah meminta kita untuk membaca. Ingat juga bahwa Allah juga meninggikan derajat orang yang berilmu.

Jika Anda merasa hanya ingin menjalankan moral sesuai agama dan keyakinan, jalankan lah untuk Anda sendiri. Tidak ada yang pernah melarang. Itu hak Anda. Tapi bukan hak Anda untuk melarang-larang hidup individu lain dan melecehkan mereka.

Postingan terkait:
Dian Paramita - Gay
Dian Paramita - A Mother of Gay
Dian Paramita - Masalah Diskriminasi: Anda Massery atau Lorch?
Dian Paramita - Gay, Lesbian, dan Hati Kecil
Dian Paramita - Tak Ada Cinta untuk yang Berjiwa Beku

Tak Ada Cinta untuk yang Berjiwa Beku

Ada banyak jiwa yang kesulitan mencari cinta. Sounds cheesy but it's true. Jutaan manusia di dunia ini banyak yang tersesat dan patah hati. Lagu-lagu yang tercipta di dunia mayoritas tentang cinta. Karena bagaimanapun juga, mencari cinta adalah pekerjaan yang sulit. Tapi orang selalu menganggapnya remeh. Dikira ini masalah sepele. Padahal tidak, bisa jadi ini masalah seumur hidup kita.

Jadi saat ada dua jiwa akhirnya bertemu dan saling membahagiakan, mengapa kau tak mampu ikut berbahagia untuknya? Mengapa kau tak mampu menerimanya hanya karena caranya berhubungan seks? Mengapa kau tidak mampu memahami bahwa seks hanyalah cara, tetapi sejatinya mereka sedang bertukar cinta dan kasih? Ketidakmampuanmu itu boleh saja kau pelihara. Tapi bukan tanggung jawab kami untuk memahami hatimu yang beku.

PS: Congratulations to my best friend, Nocky! Cannot wait for you and Vincent's wedding day!

WhatsApp Image 2018-04-18 at 17.38.13.jpeg

Postingan terkait:
Dian Paramita - Gay
Dian Paramita - A Mother of Gay
Dian Paramita - Masalah Diskriminasi: Anda Massery atau Lorch?
Dian Paramita - Gay, Lesbian, dan Hati Kecil
Dian Paramita - LGBT Bukan Penyakit

Sampai Kapan Menunggu Polisi Angkat Tangan?

30629181_10156099813321826_8655248606346870784_n.jpg

“You exist only in what you do”

Seperti Munir, Novel ada karena apa yang ia lakukan. Bukan apa yang ia kenakan atau miliki. 

Ia ada karena membuat koruptor terhukum dan jatuh miskin. Ia ada karena ia bekerja keras untuk menjaga hak-hak rakyat. Apa yang ia lakukan membuatnya ada. Sampai-sampai para koruptor yang dibuatnya marah itu ingin meniadakannya.

Tapi sekai lagi, “You exist only in what you do.” Betapa pun para penjahat pecundang itu ingin meniadakannya, keberadaan Novel tidak akan dilupakan, tidak akan tiada. Ia akan selalu ada di dunia sampai kapan pun. Jadi untukmu para pecundang, serangan air keras darimu itu sia-sia. Karena seranganmu tidak membuatnya tiada namun justru berlipat ganda.

PS: Tepat setahun lalu, Novel Baswedan disiram air keras usai shalat Subuh di masjid dekat rumahnya. Sampai saat ini ia harus menjalani perawatan dan operasi. Ia pun harus meninggalkan anak-anaknya dan istirahat sementara dari pekerjaannya, dua hal yang selama ini menjadi hidupnya. Selama satu tahun kasus ini tidak kunjung ada keadilan. Ayo kita dukung Jokowi untuk segera melakukan sesuatu yang lebih signifikan, tanpa menunggu kapolri angkat tangan. Karena sampai kapan kita harus menunggunya angkat tangan? 

Hari ini kita akan berkumpul untuk meminta keadilan bagi Novel. Info lengkap mengenai gerakan ini, cek Instagram: @amnestyindonesia, @kontras_update, dan @sahabaticw. #TikTokNovel#sebelahmata #NovelBaswedan

Bangsa Penemu

Empat tahun lalu, dalam sebuah debat antar cagub dan cawagub Jawa Barat di Metro TV, Teten Masduki (cawagub dari PDIP) bertanya kepada lawannya, Deddy Mizwar (cawagub incumbent) mengenai banyaknya jumlah penduduk di Jawa Barat yang tidak sebanding dengan jumlah rumah sakitnya. Setelah kedip-kedip dan berfikir, Deddy pun menjawab, 

"Saya ini nggak biasa bicara angka sebenarnya, Bang Teten. Saya ini seniman. Jadi otak kanan saya yang banyak bicara. Saya nggak hafal angka…” (Video bisa ditonton disini, menit ke 06.39)

Walaupun sudah empat tahun lalu, debat itu tidak terlupakan. Bagaimana bisa kita memiliki seorang calon pemimpin yang mengatakan dia tidak biasa berbicara dengan angka? Ia mengatakan hal itu seakan angka adalah hal yang sepele. Padahal apa yang bisa ia lakukan untuk memajukan daerah yang dipimpinnya tanpa biasa berbicara dengan angka? Apa dasar-dasar keputusan-keputusannya nanti jika bukan dari angka? Misalnya, bagaimana ia bisa mengurangi kemiskinan jika tidak berbicara jumlah penduduknya yang miskin? Bagaimana ia bisa menentukan kebijakan dana bantuan pendidikan tanpa berbicara jumlah anak sekolah di daerahnya? Dan seperti pertanyaan Teten Masduki, bagaimana dapat menyehatkan jutaan rakyatnya jika tidak berbicara jumlah rumah sakitnya yang hanya sedikit? Calon pemimpin seperti ini seharusnya dipertanyakan kemampuannya oleh rakyat dan tidak untuk dipilih. Namun sebulan setelah acara debat tersebut, pasangan Aher-Deddy memenangkan pilgub Jawa Barat 2013. Jawa Barat memillih dipimpin oleh seseorang yang mengaku tidak biasa berbicara dengan angka.

Malangnya Angka dan Teori

Bertahun-tahun yang lalu, ada sebuah iklan di televisi tentang sampo anti ketombe. Dalam iklan itu ada seorang scientist berbicara mengenai penyebab ketombe. Beberapa detik kemudian seorang laki-laki datang dan menyeletuk, “Ah teori!” Iklan itu sangat terkenal dan hingga sekarang setiap ada orang mencoba menjelaskan sesuatu dengan teori, maka sering dibalas dengan ucapan yang sama: “Ah teori!”

Tak hanya angka yang selalu disepelekan di masyarakat kita, namun juga teori. Seakan angka dan teori adalah sebuah penemuan yang datang dari angan-angan saja. Seakan angka dan teori sebuah penemuan yang jauh dari fakta lapangan. Mereka seperti melupakan bahwa angka dan teori adalah hasil penelitian dari fakta-fakta lapangan. Mereka seperti tidak tahu bahwa para peneliti itu datang ke lapangan, mewawancarai atau mengamati objek penelitian, melakukan survey paling sedikit pada ribuan orang, melakukan tes uji coba, membandingan penemuan atau ilmu sebelumnya, mengeluarkan banyak biaya, dan menghabiskan banyak waktu hingga puluhan tahun. Namun mengapa kita menyepelekannya?

Perguruan tinggi di Indonesia sebenarnya memberlakukan kewajiban yang hebat kepada para mahasiswa S1-nya: membuat skripsi, melakukan penelitian. Dari pengalaman membuat skripsi, kita seharusnya lebih menghargai penelitian, berpengalaman menjadi penemu, terbiasa mengatasi masalah dengan berdasarkan teori dan data, atau terbiasa berargumen berdasarkan sumber yang terpercaya, bukan hoax. Namun sayangnya tidak.

Bangsa Pengekor

Kata ibu saya, bangsa yang unggul adalah bangsa yang masyarakatnya senang menemukan, suka menjadi penemu. Dan di jaman modern ini, penemuan itu dilakukan dengan penelitian. Bangsa yang jarang meneliti adalah bangsa pengekor. Bangsa yang hanya akan menjadi ekor bangsa lain. Menciptakan sesuatu dan mengatasi masalah hanya berdasarkan penemuan bangsa lain, bukan murni atas penemuannya sendiri. Dan Indonesia salah satunya. Bagaimana Indonesia dapat menjadi bangsa penemu dan mengatasi masalah negaranya apabila hanya mengekor penemuan dari bangsa lain? Padahal bangsa lain tidak selalu memiliki latar belakang dan masalah yang sama dengan kita.

Ada seorang dokter yang pernah mengeluh kepada saya karena kesulitan menyebuhkan pasiennya dengan obat-obatan yang ada, karena obat-obatan itu hanya cocok untuk pasien berdarah Caucasian, bukan Asian. Apa yang harus dilakukan si dokter jika belum ada penemuan obat khusus untuk pasien berdarah Asian? Apa boleh buat, ia tetap memberikan pasieannya obat yang tidak cocok. Entah sampai kapan kita harus menunggu para bangsa penemu menciptakan obat untuk kami yang berdarah Asian. Ini baru satu kasus mengenai satu obat. Bagaimana dengan kasus yang lain? Pasti banyak sekali dan kita hanya bisa menunggu?

Belajar dari Bangsa Penemu

Sebulan yang lalu saya dikenalkan teman pada seorang pria dari Australia bernama Anton Lucanus. Ia pernah menjalani pertukaran pelajar bidang biologi di UGM, lalu kursus singkat mengenai molekuler di Amerika Serikat. Setelah itu ia kembali ke Indonesia untuk menjadi peneliti magang di Lembaga Eijkman Jakarta. Ia nantinya menjadi peneliti kanker di Singapura.

Saat menjadi peneliti di Lembaga Eijkman Jakarta, ia menemukan bahwa lembaga ini memiliki banyak sekali data yang sangat penting namun tidak tersedia untuk umum. Termasuk data mengenai jumlah pengidap penyakit radang otak yang disebabkan nyamuk, Japanese Encephalitis, di Jawa Tengah. Hingga hasil pengujian penyakit Zika pertama di Indonesia. “Indonesia juga memiliki 122,000 perpustakaan, 7,000 universitas dan 10,000 jurnal akademik. Semuanya memproduksi ratusan hingga ribuan laporan, data, buku, dan artikel jurnal tiap tahunnya. Namun hanya 30% dari semua itu yang tersedia online,” kata Anton.

Mungkin karena dia terlalu banyak energi, Anton pun menciptakan Neliti, sebuah website mesin pencari hasil penelitian, data primer, dan fakta. Website ini bertujuan untuk mendigitalkan, mengurasi, dan menyebarkan hasil semua publikasi itu agar masyarakat Indonesia (khususnya lembaga penelitian dan universitas) dalam memproduksi penelitiannya. Website yang berawal dari gudang data dalam laboratorinya saja, kemudian menjadi sebuah website yang berkembang untuk umum, dan sekarang bekerja sama dengan 500 institusi lainnya. Neliti juga sudah didukung dan bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional Indonesia. Anton ingin Neliti dapat membantu Indonesia dalam membuat kebijakan atau mengatasi masalah ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.

Saat ini terdapat 915 jurnal dalam Neliti. Karena masih banyak sekali jurnal Indonesia yang memiliki kualitas rendah, maka satu persatu jurnal-jurnal itu dipilah oleh Anton dan dia bagi ke dalam tiga kelompok: Jurnal Internasional (Kualitas Terbaik), Jurnal Nasional (Kualitas Baik), dan Jurnal Tidak Terakreditasi (Kualitas Kurang Baik). Ya, satu persatu jurnal yang ada dipilah sesuai akreditasinya oleh Anton sendiri.

Tidak seperti EBSCO, JSTOR, Scopus, dkk, jurnal dan data di dalam Neliti dapat diakses dan di-download siapapun dengan gratis. “This is because we believe that information is a fundamental human right, and with free access to information comes opportunity for all people to innovate regardless of their background. We are free because we want to help Indonesia develop as a nation and mencerdaskan anak bangsa Indonesia,” kata Anton. So sweet.

Sementara itu, sekitar seminggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang pria Belanda bernama Frits Blessing. Selain melakukan bisnis di Maluku Indonesia, Frits juga membuat sebuah kerjasama antar universitas dan perusahaan dari Indonesia maupun Belanda bernama Living Lab Logistics.

Living Lab Logistics menghubungkan para mahasiswa, dosen, peneliti bidang logistic, dengan pemerintah dan perusahaan yang bergerak dalam bidang serupa. Ia menciptakan sebuah komunitas untuk membantu para peneliti untuk bekerja sama secara langsung dengan pemerintah dan perusahaan. Dengan demikian pembangunan sumber daya manusia antar Indonesia dan Belanda semakin pesat karena proses alih pengetahuan berjalan efektif dan mendalam. Nantinya bisa memacu inovasi, penemuan, dan mendukung perkembangan pendidikan di Indonesia. Apalagi selama ini banyak sekali penelitian yang tidak saling terhubung dengan peneliti lainnya, sehingga Living Lab Logistics dapat menjadi wadah agar semua peneliti bidang logistik dapat saling bertemu, belajar, bekerja sama, atau meneruskan apa yang sudah pernah dihasilkan.

Dari Anton maupun Frits kita belajar dua hal penting: apapun kesibukan kita, terus lah menjadi penemu dan menghargai segala proses penemuan di sekitar kita.

Indonesia Bangsa Penemu

Terlalu banyaknya sejarah buruk di Indonesia membuat kita berjalan lambat atau kadang berjalan di tempat. Kita menjadi sulit untuk bergerak, sulit untuk menjadi unggul, sulit untuk menciptakan dan menjadi penemu. Dari dijajah bangsa lain dan penguasa negeri di jaman penjajahan, dibungkam di jaman Orde Baru, hingga dibuat kebingungan di jaman peralihan ke negara demokrasi sejak reformasi 1998 hingga sekarang.

Namun saya tidak ragu, suatu saat nanti Indonesia menjadi bangsa penemu. Mungkin dalam waktu dekat, mungkin saja masih puluhan tahun lagi. Asalkan kita selalu berusaha menjadi penemu, menghargai penemuan dan prosesnya, serta kritis terhadap mereka yang tidak menghargainya. 

Meniru Ahok dalam Memandang Tuhan

Saya pernah bertanya kepada eyang putri saya, “Yang, kalau eyang sedang sholat lalu ada ular di depan eyang, eyang tetap sholat kan?” Saat itu eyang putri saya  sedang sibuk melakukan sesuatu namun kemudian ia terhenti, menoleh ke arah saya dan berkata, “ya lari lah!” Saat itu saya bingung, lho kenapa lari? Bukannya menyembah Tuhan adalah yang utama daripada hidup kita? Namun saya tidak bertanya lagi dan memilih diam saja.

Sekarang mengingat kejadian itu saya jelas heran, bagaimana bisa seorang anak kecil bertanya pertanyaan tentang agama dan Tuhan? Bagaimana bisa saya memiliki logika yang konyol seperti itu? Darimana asalnya?

Semua berawal dari rasa takut. Takut akan neraka dan lebih parah lagi, takut akan Tuhan. Saya ingat, di depan gerbang sekolah saya ada seorang pria penjual komik. Salah satu komik yang ia jual adalah komik-komik tentang agama. Sangat jelas di memori saya, gambar-gambar di komik itu begitu menakutkan. Ada gambar orang yang lidahnya disetrika karena berbohong dan gambar orang yang direbus karena tidak menuruti perintah orang tuanya. Setiap halaman komik itu menunjukkan ilustrasi orang-orang di neraka yang disiksa dengan sadisnya.

Walaupun eyang putri berupaya keras agar saya tidak membaca komik sadis itu, tetapi teman-teman saya terus membahasnya dan sekali-kali menunjukkan komik-komik itu ke saya. Tak hanya buku komik, ketakutan akan Tuhan dan hukuman dari-Nya juga saya pelajari dari guru agama maupun teman-teman sekelas saya dari didikkan orang tua mereka. Ini lah yang dahulu membuat saya sampai bisa berfikir bahwa kita tetap wajib meneruskan sholat walaupun ada ular di depan mata. Seakan Tuhan lebih mengerikan dari ular yang berbisa.

Dari ajaran-ajaran yang menyebarkan rasa takut itu, kami jadi belajar untuk tidak berbuat jahat dan menghindari larangan-Nya agar terhindari dari neraka. Kami belajar menyembah dan menjalankan perintah-Nya agar mendapatkan reward surga. Saya yakin, kita semua pernah bertanya: Jadi kita menjalankan perintah dan menghindari larangan-Nya karena tulus mencintai-Nya atau karena menginginkan surga dan takut neraka?

Kita jadi hanya fokus pada neraka dan surga bukan mengasah nalar berfikir, mengapa berbohong itu tidak baik dan mengapa orang tua patut dipatuhi. Saya paham, mungkin mengajarkan rasa takut adalah metode pelajaran yang termudah untuk mempengaruhi manusia. Apalagi anak kecil. Namun setelah dewasa, kita pasti sudah lebih dari itu. Kita tumbuh menjadi manusia yang memiliki nalar lebih tajam, pengetahuan yang lebih luas, dan kemampuan dalam memahami isi hati. Kita jadi mulai paham bahwa hidup bukan untuk surga atau neraka, tetapi untuk menyebarkan kebaikan kepada seluruh makhluk hidup ciptaan-Nya sampai kapanpun nanti. Kita jadi sadar bahwa segala tindakan memiliki dampak yang baik maupun buruk sehingga kita harus selalu peduli dengan sekitar. Bahwa Tuhan bukan sosok yang patut ditakuti, tetapi sosok yang seharusnya sangat kita cintai dengan setulus-tulusnya. Bahwa Tuhan ada untuk menyemangati kita agar berbuat baik dan menguatkan kita saat menghindari perbuatan buruk. Sehingga saat kita menghindari larangan-Nya, kita takut membuat-Nya kecewa, bukan takut neraka. Dan saat kita menjalankan perintah-Nya, kita ingin membuat-Nya bangga, bukan karena mendambakan reward surga.

Kini saat kita dewasa, pasti Tuhan sudah bukan lagi sebuah sosok yang menakutkan dan perlu memberikan hukuman agar kita mematuhinya. Tetapi menjadi sebuah sosok sahabat terbaik yang selalu ada kapanpun dan dimanapun kita berada. Karena Ia amat sangat menyayangi umat-Nya, maka sebagai umatnya kita juga amat sangat menyayangi-Nya. Sama saat kita meyakini Tuhan lah yang terpenting dalam hidup ini, maka sosok pertama yang ingin kita datangi saat kita sedang bahagia adalah Tuhan. Kita pasti ingin membagi rasa syukur itu dan mengucapkan beribu terima kasih kepada-Nya. Karena kita mempercayai Tuhan lah yang selalu menemani dan membantu kita mewujudkan kebahagiaan itu. Saya yakin, orang yang mampu mencintai Tuhan dengan tulus tanpa membutuhkan reward dan punishment adalah orang yang hebat karena imannya sudah sangat kuat.

Namun ternyata saya salah. Mungkin mencintai-Nya dan mensyukuri nikmati-Nya, adalah hal yang mudah, karena kita sedang bahagia. Namun apakah kita tetap dapat mencintai-Nya saat kenyataan tidak sesuai dengan keinginan? Ini lah yang tidak mudah. Sebagai manusia biasa, kita pasti tidak luput dari rasa kecewa kepada Tuhan. Terutama saat menghadapi musibah berat. Kita pasti pernah berfikir, kenapa Tuhan memberikan musibah seberat ini kepada saya? Kenapa Tuhan tidak mengabulkan permintaan saya yang sangat sederhana?

Tetapi siapa sih tidak stress berat saat kehabisan uang untuk biaya hidup? Siapa yang tidak marah saat dihina? Siapa yang tidak dengki saat difitnah? Bahkan siapa yang tidak menangis saat ditinggal mati oleh orang tersayang? Stress, marah, dengki dan bersedih adalah tanda-tanda bahwa kita masih kesulitan menerima kenyataan dan menghadapi musibah. Tentu saja ini manusiawi, apalagi Tuhan lah yang menciptakan perasaan-perasaan itu kepada kita. Namun jika kita sudah merasa mampu mencintai-Nya dengan tulus, mengapa kita masih tidak mampu menerima kenyataan dari-Nya? Maka pertanyaan kita berikutnya: mampukah kita tetap setia mencintai-Nya bahkan saat sedang tertimpa musibah?

Saya mengenal banyak orang yang mampu mencintai-Nya dengan tulus. Orang-orang yang saya sebut hebat karena tidak perlu surga saat berbuat kebaikkan dan tidak perlu neraka untuk menghindari perbuatan jahat. Mereka sadar bahwa akhirat adalah tujuan tetapi mereka tidak melupakan proses sebagai manusia yang adil dan penyayang di kehidupan ini. Karena mereka percaya Tuhan tidak menciptakan umatnya hanya untuk di akhirat.

Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap mencintai-Nya dan tetap menganggap-Nya sahabat saat sedang tertimpa musibah. Orang-orang yang mampu berfikir, apapun musibahnya, saya percaya musibah itu adalah jalan terbaik dari-Nya. Saya hanya perlu berusaha. Dan satu dari sedikit orang itu adalah Ahok.

Saya mengenalnya secara personal sejak setahun yang lalu. Selama saya mengenalnya, ia mengajarkan saya sikap ikhlas saat menghadapi masalah dan percaya bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang lebih hebat dari pengetahuan kita. Dia mengajari saya bukan dengan menceramahi saya tetapi dengan memberikan contoh sikap saat menghadapi berbagai masalah yang terus berdatangan menghampirinya.

Seperti saat kalah dalam Pilkada DKI 2017 lalu, ia yang sepatutnya paling kecewa justru yang berusaha membuat kami para pendukungnya tenang. “Percaya lah, kekuasaan itu Tuhan yang kasih, Tuhan pula yang ambil. Jangan sedih, Tuhan selalu tahu yang terbaik,” ucapnya dalam konferensi pers. Hari itu, banyak yang hampir lupa bahwa Tuhan sudah memiliki rencananya yang terbaik untuk kita, tetapi Ahok kembali mengingatkan kita.

Atau saat masih menjalani masa kampanye, ia tak pernah patah semangat dan terus berusaha mencapai kemenangan, tetapi tetap ingat bahwa Tuhan lah yang memutuskan. “Kalau tidak jadi gubernur, itu urusan Tuhan. Walau pun kita usaha. Kalau orang Islam man jadda wa jadda. Kita berusaha tapi semuanya urusan Tuhan. Kalau Tuhan ingin saya jadi pejabat, saya akan menjalankannya semaksimal mungkin. Tetapi kalau Tuhan tidak pilih saya pun, saya bersyukur. Saya selalu berdoa seperti itu,” katanya.

Ahok mengajari saya untuk tidak patah semangat dalam berusaha. Jika menginginkan sesuatu, kejar lah. Jika sudah dapat, gunakan atau kerjakan lah dengan sebaik mungkin. Namun saat kenyataan tidak sesuai harapan, tetap lah bersyukur. Karena kembali lagi, itu semua urusannya Tuhan dan Tuhan lah yang Maha Tahu lagi Maha Adil. Dia lah yang paling tahu mana jalan terbaik untuk kita semua.

Atau saat saya sedang sarapan di rumahnya setahun yang lalu, saya menanyakan bagaimana sikapnya jika ia dipenjara. Sambil menyiapkan mie rebusnya di dalam mangkuk, ia hanya menjawab, “Kalau harus dipenjara ya dipenjara aja. Nggak usah dipikirin.” Kemudian ia melahap mie rebus itu. Jangankan dipenjara, jika harus mati pun ia menyerahkannya kepada Tuhan. Saya pernah membuntutinya seharian bekerja di Balaikota dan mewawancarainya untuk artikel dalam blog saya. Pertanyaan tentang kematian dan kemungkinan ada yang ingin membunuhnya adalah  pertanyaan yang selalu ingin saya tanyakan kepadanya. Sambil menandatangani dokuman ia menjawab, “mati kan di tangan Tuhan? Kalau kamu memang harusnya mati muda mau bilang apa? Memangnya kalau kamu takut bisa membuatmu tidak jadi mati? Kalau kekhawatiran bisa membuat saya jadi panjang umur, saya mau khawatir. Tetapi kan enggak? Jadi buat apa takut?"

"Tapi sebenarnya kekhawatiran itu ada kan, Pak?" saya bertanya lagi dengan gusar. Sebenarnya saya hanya berharap dia lebih khawatir agar dia bisa lebih berhati-hati.

"Kalau kekhawatiran itu ada, stress dong? Sakit dong saya?"

"Sedikit pun tidak ada?"

"Kenapa saya bisa hidup enak? Tidur enak? Karena saya pasrah."

"Tapi padahal kemungkinan itu ada kan?"

"Ya kalau memang Tuhan memutuskan saya harus mati, ya saya mati. Ngapain dipikirin?” ucapnya kepada saya.

Mungkin kematian mudah untuk diterima, toh kita tak mampu menghindarinya. Tetapi bagaimana jika harus merasakan kenyataan menyakitkan di dalam hidup? Ahok kembali mengajari saya bagaimana menerima dan menjalaninya dengan pasrah. Saat ia mendapatkan hukuman kurungan 2 tahun misalnya. Ia bahkan harus menerima hukuman berat atas tuduhan yang tidak ia lakukan dan menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang melakukan kesalahan yang sama namun dibela. Ia harus terima untuk diborgol seperti penjahat kriminal, dibawa ke penjara detik itu juga, dan mengetahui keluarga maupun pendukungnya menangis tak tahan menghadapi ketidakadilan. Namun dari segala kenyataan yang menyakitkan itu, ia justru yang tampak paling tenang dan tetap memandang Tuhan sebagai sahabatnya.

“Gusti ora sare. Put your hope in the Lord, now and always. Kalau dalam iman saya, saya katakan: the Lord will work out His plans for my life,” tulis Ahok dalam surat terbuka yang ia tujukan kepada seluruh pendukungnya.

Bagaimana bisa seseorang yang kerja kerasnya tidak dihargai, justru selalu diserang dengan kebencian, selalu dihina, difitnah, diperlakukan tidak adil, dan sekarang harus jauh dari keluarga, masih tetap mencintai-Nya, tetap menaruh harapan kepada-Nya, dan percaya bahwa the Lord will work out His plans for his life? Bisa, jika kita meniru Ahok dalam memandang Tuhan.

Ahok tidak memandang Tuhan sedang murka, sedang marah, sedang menghukum, atau sedang memberi cobaan. Ahok memandang Tuhan dengan indah, sebagai Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Pemberi, lagi Maha Adil. Sehingga ia mampu ikhlas dan pasrah karena ia tahu Tuhan akan selalu mengasihinya, Tuhan paling mengetahui apa yang terbaik untuknya, dan Tuhan paling adil dalam memutuskan jalan hidupnya.

Awalnya saya selalu sedih membayangkan Ahok di dalam penjara. Apa yang dia lakukan disana? Apakah dia sengsara? Apakah dia jadi membenci negara ini? Apakah dia jadi membenci hidup ini? Apakah ia akan menyerah? Tetapi saya tidak lagi khawatir. Ahok adalah orang yang beruntung. Ia mampu mencintai-Nya dengan tulus dan mampu menerima kenyataan dari-Nya dengan lapang dada. Dia dapat hidup dengan tenang, tetap memiliki harapan, dan tidak patah semangat berusaha menjalani hidup dengan kebaikkan. Tak semua orang memiliki kemampuan seperti dirinya. Ia bahkan tetap mampu mengambil sisi baik dari musibah ini. “Saya jadi punya waktu untuk olah raga lebih banyak. Biasanya cuma 30 menit, sekarang bisa lebih!” Ia juga mengaku jadi banyak menulis, membaca, dan sedang fokus belajar Al Kitab dengan Bahasa Mandarin. Ia jadi memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan dia mampu menikmatinya.

Di ulang tahun Ahok yang ke-51 ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Terima kasih karena telah mengirimkan seorang pemimpin baik untuk negara yang amat sangat saya cintai ini. Walaupun hanya sebentar namun luar biasa manfaatnya. Terima kasih pula telah menunjukkan kita bahwa sebesar apapun musibah itu, semua akan baik-baik saja jika kita ikhlas. Sebuah ilmu yang berat namun saya yakin semua orang mampu mencapainya. Dan terakhir, terima kasih karena telah memperkenalkan saya kepada Ahok, orang yang mampu mengajari saya bagaimana caranya mencintai-Mu dengan tulus dan indah.

Selamat ulang tahun Pak Ahok. Semoga selalu bahagia kapanpun dan dimanapun seumur hidup Bapak. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah Bapak berikan dan segala pelajaran hidup yang telah Bapak sebarkan kepada kami. Teman saya pernah menitip salam untuk Bapak, bahwa dalam doanya, nama Bapak InsyaAllah selalu ia sebut setelah nama bapak dan ibunya. Sekarang, begitu juga dalam doa saya.

PS: For his 51st birthday (29th of June 2017), our beloved former governor of Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) get a present from us: a book called "Ahok di Mata Mereka" (Ahok in Their Perspectives).

This book is written by 51 authors coming from public figures, celebrities, book authors, journalists, to activists, who had experiences in meeting or even working with him. They include Syafii Ma'arif, Megawati Soekarnoputri, Mari Elka Pangestu, Najwa Shihab, Dee Lestari, Joko Anwar, Addie MS, etc. And I am so honored to be one of the authors!

To purcahse and more info about the book, please call/sms/WhatsApp: 081211666682.