Kesenjangan Sosial Dampak dari Keterbatasan Informasi

Photo Credit: Beritagar

Kita semua sangat yakin bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya untuk dapat mensejahterakan setiap penduduknya, setiap individunya. Masalahnya hanya ketidakmampuan pemerintah dalam memeratakan kesejahteraan sehingga menyebabkan kesenjangan itu terjadi. Dan ketidakmampuan ini berawal dari keterbatasan rakyat menerima informasi.

Pada dasarnya, rakyat dapat sejahtera dimulai dari kemampuannya mengetahui hak-haknya. Sekali rakyat tahu mengenai hak-haknya dan percaya diri untuk memperjuangkannya, maka cepat atau lambat kesejahteraan akan mereka dapatkan. Tetapi jika rakyat tidak memiliki informasi apapun, tidak tahu bahwa mereka memiliki hak, tidak tahu apa yang sedang pemerintah rencanakan untuknya, maka rakyat tidak akan menyuarakan pendapat dan kebutuhannya. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan yang mereka butuhkan dan tidak akan sejahtera. Jadi, bagaimana pemerintah selama ini memberikan informasi kepada rakyatnya?

Zaman Diam dan Menunggu

Awalnya informasi hanya dikuasai oleh pemerintah atau para raja sehingga pengetahuan rakyat hanya bergantung pada para pemimpinnya. Pada zaman kerajaan kuno misalnya, rakyat tidak mengetahui proses rajanya memutuskan akan berperang melawan kerajaan lain? Rakyat hanya tahu saat perang itu telah terjadi. Tak hanya itu, jika rakyat tidak memiliki informasi bahwa akan terjadi perang, mereka tak bisa mempersiapkan diri untuk minimal melarikan diri dan berlindung sebelum perang terjadi. Tidak seperti sekarang, misalkan presiden akan memutuskan menerima ISIS di Indonesia. Sejak jauh hari rakyat pasti sudah mencium niat ini dan proses-prosesnya. Sehingga bagi mereka yang takut dengan ISIS, maka dapat mengambil keputusan untuk melarikan diri dari Indonesia.

Atau pada zaman Belanda, rakyat tidak tahu bahwa pemerintah akan menaikkan pajak. Tak hanya tidak mengetahui proses pemerintah memutuskan kenaikkan pajak dari jauh-jauh hari, rakyat juga tidak mendapat informasi mengenai alasannya. Rakyat hanya dapat menerima. Rakyat hanya menjadi penduduk bisu. Hanya bisa diam, menunggu, dan menerima. Tidak mengetahui apa yang sedang direncanakan sang pemimpin dan apa dampaknya dalam hidup mereka. Tidak seperti sekarang, kita selalu tahu apa yang akan terjadi sehingga kita bisa selalu mengambil keputusan atau menolak sebuah kebijakkan sebelum kebijakkan itu diputuskan.

Zaman Informasi Masih Terbatas dan Dikuasai

Ya, zaman telah berubah dan informasi tidak hanya dikuasai oleh pemerintah saja namun juga media. Pengetahuan rakyat menjadi tak hanya bergantung pada satu sumber saja. Kita jadi mengetahui siapa saja yang sedang ditemui presiden, siapa saja rekan kerja yang dipilih presiden, hingga informasi mengenai kondisi politik di negara lain. Di zaman itu kita mengira kita sudah hidup di zaman yang ideal. Bahwa rakyat akhirnya bisa mendapatkan informasi yang seluas-luasnya karena tidak dikuasai oleh pemerintah saja.

Ternyata tidak. Pada zaman yang jauh lebih modern, zaman Orde Baru, banyak rakyat tidak tahu bahwa pemerintahnya melakukan korupsi besar-besaran dan banyak melanggar hak-hak rakyatnya. Terbukti dari banyaknya orang yang mengira zaman Orde Baru jauh lebih sejahtera dan aman dari pada zaman sekarang. Hal ini disebabkan karena media pun masih dikuasai oleh tak hanya pemerintah, namun juga pengusaha. Rakyat telah diberi informasi yang salah atau terbatas, sehingga menjadi mudah untuk dipengaruhi. Seperti banyaknya pelanggaran HAM pada rezim itu, namun tak ada satu pun media yang berani memberitakannya sehingga rakyat tidak tahu kejahatan itu.

Minimnya informasi yang diterima rakyat ini menyebabkan rakyat tidak memahami bahwa sesungguhnya mereka memiliki banyak hak untuk hidup sejahtera, seperti hak untuk hidup, hak untuk pendidikan, hingga hak untuk bebas berekspresi menunjukkan pilihan politiknya. Keterbatasan informasi ini juga menyebabkan rakyat tidak tahu bahwa sesungguh mereka berhak dan sepatutnya percaya diri untuk meminta hak dan keadilan dari pemerintahnya.

Zaman Informasi Tak Mengenal Batas

Namun 20 tahun lalu mungkin kita tidak menduga, bahwa informasi akhirnya bisa dikuasai oleh kita semua, bahkan tiap-tiap individu! Internet telah membuka informasi tanpa batas. Beruntung pemerintah Indonesia tidak menutup akses itu sehingga informasi tidak dikuasainya dan media saja. Jika dahulu para korban pelanggaran HAM tidak mendapatkan panggung di media untuk mengeluhkan ketidakadilan yang menimpanya, zaman sekarang para korban dapat dengan mudah membuat akun di media sosial untuk menulis atau merekam kesaksiannya lalu menyebarkannya. Kita semua dapat menerima dan menyebarkan informasi dari tangan pertama.

Mengapa Masih Ada Kesenjangan?

Ya, lagi-lagi kita merasa bahwa kita sudah hidup di zaman yang ideal. Namun mengapa masih banyak rakyat tidak sejahtera? Kenapa kesenjangan itu masih tinggi? Mengapa banyak orang tua di Jakarta mampu menyekolahkan anak balitanya di sekolah berbiaya puluhan juga rupiah, sementara orang tua di Asmat tidak mampu memberikan air bersih untuk anak balitanya hingga meninggal sia-sia?

Sebab, walaupun informasi sudah tidak dikuasai oleh kalangan tertentu, tetapi akses informasi itu hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang di Pulau Jawa dan kota-kota besar saja. Sisanya, mereka masih seperti hidup di zaman kerajaan kuno. Hanya mampu diam, menunggu, dan menerima. Seperti ibu-ibu di Asmat yang tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk pergi mengobati anaknya dengan gratis. Mereka juga tidak tahu bahwa mereka bisa menyampaikan kebutuhannya ke pemerintah, mengenai kesulitan menerima pasokan makanan bergizi atau mengenai puskesmas di daerah mereka tutup akibat kecilnya gaji dokter dan perawat di sana. Informasi-informasi dari tangan pertama rakyat Papua seperti ini sangat dibutuhkan kita semua, khususnya pemerintah. Namun sayangnya, setelah banyaknya bayi meninggal di Asmat, baru pemerintah memberikan bantuan karena diungkapkan pertama kali oleh Keuskupan Agats. Sehingga jika Keuskupan Agats tidak melaporkannya, maka pemerintah tidak akan datang membantu.

Inovasi Harus Berangkat dari Niat Membangun dan Mendengarkan

Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang haus masukan. Dan jika mereka haus masukan, maka mereka akan menciptakan inovasi yang dapat memudahkan rakyatnya menyampaikan -tak hanya- masukkan, tetapi juga keluhan dan kritikan untuknya.

Di zaman di mana informasi sudah tiada batas, pemerintah seharusnya memastikan informasi tiada batas itu sampai ke setiap rakyatnya, setiap individunya. Tidak hanya untuk mereka yang hidup di kota, tetapi juga untuk mereka yang hidup di pedalaman. Minimal pastikan setiap desa memiliki gedung informasi untuk mengakses informasi.

Tak hanya itu, pastikan mereka memiliki akses untuk mengirimkan masukan, keluhan, dan kritikannya kepada pemerintah secara langsung. Buatkan sistem agar semua kiriman pasti diterima dan ditindak-lanjuti.

Jika ini semua terjadi, maka kesenjangan informasi itu tiada dan jika kesenjangan informasi tiada, maka kesenjangan kesejahteraan pun ikut tiada. Karena pemerintah dapat secara langsung menerima masukan dari rakyatnya dan akhirnya rakyat menerima apa yang dibutuhkannya.