Makan Malam dengan Ahok

Atas inisiatif bersama, beberapa teman-teman sosial media meminta waktu kepada Ahok untuk bertemu dan berbincang. Saya pun diajak untuk ikut serta. Saya gembira sekali. Kesempatan bertemu pemimpin pemerintah dan dapat mengobrol dengan lebih dekat adalah hal yang sangat berharga di dunia ini. Apalagi sejauh ini menurut pandangan saya Ahok adalah salah satu pemimpin yang terbaik di Indonesia. Bukan sempurna, tetapi terbaik. Ia dapat menunjukkan proses dan hasil kerja. Ia pun independen bukan dari partai politik manapun.

Kami Terlambat

Kami dijadwalkan untuk hadir di rumah pribadi Ahok di Jakarta Utara pada Hari Jumat, 8 April pukul 18.00. Saya bersama Mbak Renny Fernandez berangkat dari Jakarta Selatan pukul 17.00. Tetapi karena macet, maka sampai sana pun kami terlambat hingga pukul 18.40. Sebelum masuk ke komplek perumahannya, satpam komplek menanyakan maksud kehadiran kami. Kamipun diperbolehkan masuk komplek setelah menyebutkan nama.

Kami sedikit kesulitan mencari rumah Ahok karena tidak ada yang berbeda dengan rumah lainnya. Sampai akhirnya kami menemukan dan bertemu dengan salah satu asisten Ahok bernama Mbak Ima yang sedang berada di depan rumah. Kami diantarkan ke ruang makan Ahok dan akhirnya kami pun bertemu dengannya. Ia sedang duduk membelakangi pintu sambil bercerita namun kemudian berhenti saat kami datang. Ia memutarkan badannya untuk menyalami kami berdua. Sebelum kami meminta maaf karena telat dikarenakan macet, Ahok berkata, "telat karena macet ya? Kalo karena macet berarti salah saya."

Kwetiau Seafood, Martabak, Pempek, Anjing, dan Beer

Kami pun dipersilahkan duduk dan disodori sebungkus kwetiau goreng seafood yang luar biasa lezatnya. Belum selesai menyelesaikan kwetiau tersebut, di tengah bercerita Ahok mengatakan ia sedang memesan martabak yang enak sekali. Benar, memang enak bukan main. Martabak keju dan asin. Kemudian tiba-tiba datang juga Pempek Susan. Astaga!

Hiburan malam itu tidak hanya makanannya, tetapi juga anjing berbaju pink peliharaan Ahok yang bernama Cookie. Ia lari masuk saat pintu ruang makan terbuka. Langsung SKSD dengan para tamu. Saya pun menggendongnya dan selama berjam-jam dia lengket di pangkuan saya.

Selain ada anjing, ada juga beer. Beberapa tamu minum beer. Tentu saja para tamu tidak mabuk. Apalagi mabuk-mabukan seperti orang gila. Mungkin kami bisa mabuk jika meminum puluhan kaleng beer. Namun orang bodoh mana yang tidak bisa mengontrol minumannya hingga mabuk padahal sedang bertemu orang penting? Saya rasa tidak ada orang sebodoh itu.

Ahok sendiri minum susu. No kidding. Tapi apakah ini penting? Kita lebih sibuk memikirkan apa yang ia minum daripada apa yang ia lakukan terhadap sesama dan makhluk lain ciptaan Tuhan?

Ahok Malam Itu

Sebelum ke pertemuan itu, saya sudah dengar gosip kalo Ahok itu suka bercerita. Ternyata benar. Ceritanya banyak sekali. Mayoritas bikin keki karena menyangkut ketidakadilan dan kerugian negara yang dilakukan oknum. Tetapi ceritanya lucu. Ia menceritakan dengan nada suara dan gerak-gerik yang komikal. Sampai kadang ia lupa meneruskan makannya. Beberapa kali ia mempersilahkan asistennya untuk membantu menceritakan suatu issue agar dia bisa berhenti dulu untuk melahap kwetiaunya.

Ahok juga tak terduga. Makan malam saat itu bersifat santai, kami bisa berjalan-jalan mengambil makanan, pindah tempat duduk, bermain dengan anjingnya, dan bolak-balik ke kamar mandi. Suatu ketika ada tamu sedang berdiri di depan kamar mandi untuk mengantri. Di tengah bercerita, Ahok sempat-sempatnya berhenti bercerita dan mempersilahkan tamunya untuk menggunakan kamar mandi di kamarnya. Bagi saya ini lucu mengingat bagaimana antusiasnya dia bercerita namun masih bisa aware ada tamunya yang kebelet.

Cerita-Cerita Ahok

Seingat saya, saat saya datang Ahok sedang tengah bercerita mengenai reklamasi Jakarta. Saya juga ingat ia bercerita mengenai lahan-lahan hijau yang digunakan bangunan komersil, mengenai bagaimana orang-orang berusaha "mengadali" pemerintah, mengenai peraturan pemerintah, dan lain-lain. 

Sayangnya saya duduk di ujung meja yang jauh dari tempat duduk Ahok. Sejujurnya saya sangat kesulitan mengikuti perbincangan dengan Ahok malam itu karena saya memiliki masalah pendengaran apalagi jika tidak bisa melihat dengan jelas gerakan bibirnya. Saya juga merasa belum memiliki pengetahuan penuh mengenai masalah-masalah ini, sehingga saya tidak berani menuliskannya dan berkomentar disini.

Di kesempatan itu para tamu juga banyak yang menanyakan dan mengeluhkan beberapa hal. Pertanyaan-pertanyaan dijawab Ahok dengan panjang lebar dan keluhan langsung dia catat. Bahkan janjinya akan segera menindaklanjuti oknum (yang tidak dapat disebutkan) itu. Jika terbukti salah, akan ia pecat. Ia sempat berkata, "tidak ada yang tidak mungkin."

Trotoar dan Kucing Liar

Hampir 6 jam nonstop kami dan Ahok berbincang malam itu. Pertemuan hampir saja disudahi padahal saya belum sempat bertanya. Saya pun langsung mengangkat tangan, "tapi Pak saya mau nanya. Jika tidak ada yang tidak mungkin, apakah bisa seluruh jalanan di Jakarta ini memiliki trotoar?"

Ia mengatakan ia sudah merencanakan pembuatan trotoar dan katanya akan memakan waktu 5 tahun. Lalu saya tanyakan bagaimana dengan jalanan kecil yang sepertinya tidak mungkin lagi untuk diberi trotoar? Apakah harus mengambil tanah warga? Ia mengatakan beberapa titik memang tidak mungkin tetapi ia juga sedang mengusahakan trotoar gantung. I can not wait for that.

Selanjutnya saya juga menanyakan bagaimana dengan anjing dan kucing liar di Jakarta? Apa yang bisa Pemerintah Provinsi Jakarta lakukan? Ia katakan ia akan mensteril semuanya agar menekan angka populasi. Lalu setiap anjing dan kucing yang sudah disteril akan diberi chip agar bisa didata. Saya sendiri puas atas jawaban itu. Walau belum sampai pada solusi pembuatan shelter untuk menampung anjing dan kucing liar, paling tidak ia sudah memikirkan bagaimana menekan angka populasinya melalui cara sterilisasi.

Foto Bareng dan Menodongnya

Usai berbincang, tentu saja kami berfoto bersama. Saat saya mendapat giliran foto, saya menodongnya, "Pak, apakah saya boleh mengikuti bapak seharian bekerja lalu saya tulis di blog?" Karena saya terlalu pendek untuknya, ia harus menunduk dan meminta saya mengulang pertanyaan saya. Saat saya tanyakan kembali, dia pun setuju dan justru langsung memikirkan hari apa yang enak buat saya. Karena tidak enak banyak yang mengantri foto, maka ia langsung memanggilkan asistennya untuk membuatkan jadwal untuk saya.

Tadinya saya meminta sehari bersama Ahok tetapi malah ditawari dua hari. Saat weekday dia di kantor dan saat weekend menghadiri nikahan warga. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu kembali dan melhat sendiri Ahok saat bekerja dan menghadiri nikahan warga.

Latar Belakang Mendukung

Saya selalu berusaha memahami jika orang lain mendukung calon pemimpin yang berbeda dengan saya. Saya berusaha masuk dalam pikirannya. Mengapa mereka mendukung calon tertentu? Saya sendiri menentukan pilihan berdasarkan kualitasnya. Seperti kualitas ideologinya, visi-misinya, rencana kerjanya, hingga rekam jejaknya. Karena saya sendiri demikian, maka saya berfikir orang lain pun juga demikian dalam menentukan pilihannya.

Namun sekarang rakyat sipil yang mendukung seorang calon pemimpin seakan melakukan tindakan kriminal. Datang ke rumahnya untuk makan malam dan berbincang pun dicurigai. Padahal sejatinya, apa salahnya para pendukung datang ke rumah calon pemimpin dukungannya? Apakah melanggar aturan jika rakyat sipil menyatakan dukungannya?

Makin deras tuduhan saya mendapat bayaran. Dituduh memiliki agenda tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompok sendiri. Padahal saya datang karena memang sudah mendukungnya, bukan datang untuk diberi arahan dan dibayar lalu baru mendukungnya. 

Sejak 2010 susah payah saya menolak beberapa tawaran buzzing dari brand maupun pemerintah yang hendak membeli opini saya, Membohongi publik bahwa suatu brand minuman tertentu lebih baik dari kompetitornya saja saya tolak. Apalagi membohongi publik mengenai pandangan politik saya. Berapapun bayarannya, mau tidak mau harus saya tolak. Tentu saja bukan karena kaya tetapi karena tidak sampai hati. Masak publik yang selama ini percaya kepada saya lalu saya bohongi? Saya tidak tega sehingga beberapa kali saya harus menolak tawaran besar itu sambil menelan ludah. Saya beruntung, berkat dukungan keluarga, saya masih bisa mempertahankan idealisme. Walaupun begitu, tetap saja ada yang dengan entengnya memfitnah saya dibayar.

Kemudian saya menyadari, jika mereka bisa-bisanya berfikir orang lain bisa diarahkan opininya, mendukung calon pemimpin karena faktor uang dan kepentingan pribadinya, maka kemungkinan besar karena mereka sendiri demikian. 

Salam,

Dian