Saya kira saya paham rasanya jadi perempuan.

Suatu hari setelah selesai bercerita tentang pelanggaran HAM di Indonesia dan apa saja yang ingin saya lakukan terhadapnya, kencan saya bertanya,

“But since you are a woman, why don’t you fight for woman’s right?”

“Because I don’t want to fight for my self. And I don’t feel there is any differences between women and men in Indonesia. I feel we are the same.”

“Are you sure?”

“Yes, I have the same opportunities and as powerful as men. I also never had any experience in mansplaining at school or work.”

“Well, that’s good.”

Tapi saya salah besar. Seorang teman membuat saya saya sadar selama ini saya kira saya paham rasanya menjadi perempuan, ternyata tidak. Selama ini saya adalah laki-laki di dalam tubuh perempuan. Berpikiran laki-laki, mengira semua baik-baik saja.

Buta

Saya pernah menertawakan sebuah postingan teman yang merasa bangga bisa menjadi perempuan satu-satunya di dalam sebuah meeting. Jika dia sudah cukup open minded mengenai kesamaan gender, kenapa dia masih membedakan dirinya perempuan di antara laki-laki?

Saya juga pernah heran dengan sebuah postingan teman yang merasa dirinya lebih lemah dari semut-semut di lantai. Dia merasa semut-semut tersebut hidupnya lebih bebas dari pada hidup sebagai perempuan. Oh come on? Bukannya hidup semut lebih mengerikan? Setiap saat bisa mati terinjak?

Berbagai keluhan dan kelakuan teman perempuan membuat saya heran. Saya tak pernah merasa khawatir menjadi perempuan. Tak pernah merasa ada perbedaan antara saya dengan laki-laki. Saya juga tak pernah merasa direndahkan atau disepelekan di dunia pendidikan atau di tempat kerja. Tapi ternyata selama ini saya dibutakan privilege.

Terlahir dari keluarga open minded membuat saya tak pernah merasa berbeda dengan kakak laki-laki saya. Saya selalu merasa sekuat kakak saya, karena pendapat dan cita-cita saya selalu dianggap sepenting pendapat dan cita-cita kakak saya. Saya juga tidak pernah merasa lemah saat menangis, karena saat kakak saya menangis, orang tua juga selalu memeluknya hingga ia nyaman untuk berhenti menangis.

Gender pun tak pernah menjadi penghalang menentukan keinginan kami. Dulu saat saya kecil ingin beli bola dan kakak saya ingin beli boneka, kami berdua akan mendapatkannya. Apalagi orientasi seksual. Bagi orang tua kami, apapun yang membuat kami bahagia akan mereka perjuangkan.

Mendapat kesempatan sekolah dan bekerja di kalangan orang berpendidikan juga membuat saya tak pernah merasa berbeda dengan teman laki-laki. Di sekolah, siapapun didengarkan dan bisa menjadi juara. Guru dan dosen baik laki-laki atau perempuan akan mendapatkan pujian yang tinggi atas keahlian mereka. Tak sedikit teman laki-laki yang mengidolakan kecerdasan dan ketangguhan sosok perempuan. Apalagi di tempat kerja. Hak, kewajiban, dan apresiasi kepada saya selalu sama dengan kolega laki-laki. Bahkan di tempat kerja sekarang, laki-laki juga mendapatkan cuti setelah istrinya melahirkan.

Tapi ternyata ini semua sebuah privilege. Tak semua perempuan memiliki hidup dan kesempatan seberuntung saya.

Saya sadar, banyak perempuan yang sejak kecil sudah merasa memiliki nasib dan pilihan yang berbeda dari saudara laki-lakinya. Banyak perempuan butuh memberikan berbagai alasan kepada orang tuanya kenapa ia harus sekolah dahulu sebelum menikah. Atau harus menahan tangis karena tidak mau dianggap tak sekuat dan setangguh saudara laki-lakinya. Saya juga sadar, banyak perempuan yang sering menghadapi guyonan teman laki-lakinya yang merendahkan perempuan atau harus meninggalkan karirnya karena mengurus anak. Sementara saya tidak harus menghadapi seperti yang mereka hadapi untuk melanjutkan hidup dengan nyaman sesuai keinginan saya sendiri.

Saya jadi merasa bersalah telah menertawakan teman-teman perempuan saya yang masih merasa berbeda dengan laki-laki dan merasa lebih lemah dari seekor semut. Membayangkan tidak hidup dengan segala privilege yang saya miliki, mungkin saya akan memposting hal yang sama seperti mereka.

Berarti ada yang salah dengan kehidupan masyarakat kita. Kenapa ada perempuan yang masih merasa lemah dan berbeda dengan laki-laki? Ada yang harus diubah dan diperjuangkan.

Rasanya Aneh Berjuang untuk Perempuan

Selama ini saya menolak berjuang untuk perempuan. Karena rasanya aneh berjuang untuk untuk diri sendiri. Saya merasa orang akan rolling their eyes jika saya berteriak meminta keadilan untuk diri saya sendiri. Karena orang akan balik berkata: Ya iyalah kamu nuntut segitunya, karena buat kamu sendiri sih.

Tak seperti jika saya menulis mengenai korban pelanggaran HAM masa lalu atau memperjuangkan hak-hak agama minoritas dan LGBTQ . Awalnya orang akan mengira saya penganut agama minoritas, atau lesbian, atau korban pelanggaran HAM. Tapi setelah orang tahu saya bukan ketiganya, saya bisa dengan bangga berkata kepada mereka: Nggak, saya nggak perlu menjadi korban, menjadi minoritas, atau menjadi lesbiah untuk memperjuangkan mereka semua. Tak semua orang seegois kamu yang hanya memikirkan diri sendiri.

Itulah kenapa saya merasa aneh memperjuangkan perempuan, karena saya tidak mau dikira egois hanya untuk saya sendiri. Tapi sekarang saya sadar, memperjuangkan hak-hak perempuan itu tidak selalu untuk saya sendiri. Memperjuangkan perempuan itu untuk mereka yang tidak memiliki privilege dan kehidupan seberuntung saya.

Jadi mulai hari ini, saya akan lebih aktif memperjuangkan hak-hak perempuan. Agar semua perempuan dapat nyaman menjadi dirinya sendiri, mendapatkan apa yang mereka ingin dapatkan, dan tak pernah lagi merasa berbeda dengan laki-laki.

PS: Postingan ini dipersembahkan untuk para perempuan dan laki-laki hebat yang saya temui di Women’s March Jakarta 2019. Berikut berbagai foto-foto mereka: