Rp 100 juta itu mereka kembalikan!

PT Bintuni Agro Prima Perkasa awalnya minta izin masyarakat adat di Tambrauw, Papua Barat, untuk membuka lahan kebun di padang rumput. PT BAPP juga memberi uang Rp 100 juta sebagai tali asih. Masyarakat adat tak tau apa itu tali asih, karena curiga mereka simpan uang itu.

Kecurigaan mereka benar, ternyata sekarang PT BAPP beroperasi di hutan adat. Merusak hutan dan habitat hewan sesuka hati. Bahkan dicurigai akan menanam sawit. Masyarakat jadi kehilangan sumber kehidupan, kehilangan ibu. Berkali-kali mereka mengatakan, “Hutan itu ibu kami, mama kami. Ia yang memberi kami makan.”

Saat masyarakat menolak keberadaan PT BAPP, perusahaan menunjukkan dokumen lengkap dengan tanda tangan para warga bahwa mereka setuju pembukaan lahan di hutan. Masyarakat pun bingung dari mana tanda tangan itu.

Masyarakat pun beramai-ramai memalang wilayah PT BAPP agar berhenti beroperasi. Mereka pun mengembalikan uang Rp 100 juta itu ke perusahaan. Kata mereka, uang tak akan bisa membeli masa depan tanah adat.

Hari ini PT BAPP masih beroperasi karena (katanya) mereka memiliki izin yang legal. Maka dari itu masyarakat dari Papua Barat berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mendesak pemerintah (khususnya Presiden dan KLHK) untuk mencabut izin perusahaan yang tidak memiliki persetujuan dari masyarakat adat dan telah merugikan tanah adat.

Masyarakat juga membutuhkan dukungan kita dengan menandatangani petisi ini www.change.org/DemiTanahAdat agar perjuangan mereka lebih kuat.

Perjuangan ini bukan hanya untuk tanah adat Papua, tetapi juga tanah adat di seluruh Indonesia. Agar perusahaan dan koruptor tidak sesuka hati main rampas tanah rakyat.