Empat Hal yang Perlu Dilakukan Pemerintah Agar Tidak Tersesat

Tidak ada negara di dunia ini yang maju tanpa mengedepankan riset sebagai dasar pengambilan kebijakan. Lihat apa yang terjadi saat pemerintah di dunia meragukan himbauan para ilmuwan. Pandemi Covid-19 jadi bukti. 

Misalnya, Trump yang menolak memakai masker dan presiden Brazil Bolsonaro yang bahkan mengikuti protes anti-lockdown. Ketidakacuhan mereka itu meragukan rakyatnya, penularan tak terkendali memakan banyak korban, kericuhan juga terjadi. 

d2ab83a9-b7bb-4f56-af1c-1933ca46a27a_169.jpeg

Pemerintah Indonesia sendiri tidak menganggap enteng bahaya virus tersebut. Namun sayangnya, dalam menangani kasus ini, mereka kurang bijaksana. Berulang kali tersesat dan akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan.      

Maksud 'tersesat' berarti ada petunjuk yang tidak diikuti atau malah tidak tahu petunjuk mana yang harus diikuti. Memang dalam konteks penanggulangan Covid-19 sebagai penyakit menular baru, banyak sekali unknowns, bahkan bagi ilmuwan dan pihak-pihak seperti WHO sekali pun. Sehingga sangat dimaklumi bahwa banyak pemimpin yang tersesat karena sedikitnya pemahaman mengenai masalah baru ini.     

Namun, walaupun demikian, pemimpin seharusnya menggunakan berbagai cara yang tidak semakin menyesatkan masyarakatnya. Seharusnya, hal-hal dasar yang dapat membantu kita menyelesaikan masalah dipatuhi dan diikuti sesuai ilmu pengetahuan dan metode ilmiah, agar tidak semakin memperumit masalah yang ada. Sayangnya, pemerintah Indonesia berulang kali mengabaikan hal-hal dasar tersebut sehingga kebijakannya tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.     

Buktinya rasio angka kematian korban Covid-19 di Indonesia yang menjadi tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini, rasio kematian di Indonesia mencapai 5,6%, di atas rata-rata rasio kematian negara-negara Asia Tenggara yaitu sekitar 2,7%. 

Screen Shot 2020-08-17 at 17.24.03.png


Indonesia juga mencatat rekor tertinggi penambahan kasus Covid-19 dalam hitungan harian. Pada 9 Juli 2020 lalu, dalam 24 jam terakhir, tercatat ada penambahan 2.657 pasien positif Covid-19. Padahal peningkatan kasus Covid-19 di negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Selandia Baru sudah mulai menurun

Screen Shot 2020-08-17 at 17.24.14.png

Bahkan pada berita 3 Agustus 2020 lalu, Indonesia naik peringkat ke nomor 2 di daftar tingkat kematian tertinggi akibat Covid-19 di Asia Pasifik. Satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang tingkat kematiannya lebih tinggi dari Indonesia adalah China.

Melihat bagaimana pemerintah masih tersesat dan akhirnya jadi menyesatkan rakyat, membuat kita ingin bertanya, sebenarnya pemimpin dunia, terutama pemerintah Indonesia, menggunakan riset dalam mengambil kebijakan nggak sih?

Niat Baik dan Kerja Keras Tidak Cukup

Walaupun termasuk lambat dalam bertindak melawan bahaya pandemi ini, pemerintah Indonesia tidak membuang-buang waktu memperdebatkan kebenaran bahaya virus dan pentingnya menggunakan masker. 

Niat baik pemerintah, kerja keras, dan pemberian contoh baik kepada masyarakat agar tidak menyepelekan keadaan memang patut diapresiasi. Misalnya, beberapa inisiatif pemerintah yang disampaikan dalam webinar Katadata.id: Penanggulangan Covid-19 Berbasis Pengetahuan dan Inovasi. Baik Menristek Bambang Brodjonegoro maupun Menpan Tjahjo Kumolo terlihat berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk menangani mimpi buruk 2020 ini.

Menristek misalnya, menyebutkan tentang pentingnya data dalam memahami dan menyelesaikan epidemi atau pandemi. Oleh karena itu, melalui Kemenristek, pemerintah mendorong riset dan inovasi untuk mengatasi pandemi ini. Seperti inovasi obat, terapi, alat kesehatan, alat diagnosis, dan alat-alat pembantu lainnya seperti robot perawat. 

Bahkan, pemerintah mendorong masyarakat untuk menyampaikan ide-ide produk atau program yang dapat direalisasikan agar mempercepat penanganan pandemi Covid-19. Pesertanya pun mencapai lebih dari 5 ribu orang dengan 17 pemenang. Bayangkan ada ribuan orang dengan ribuan ide, sebuah inisiatif yang harus kita apresiasi     .

Senada dengan Menristek, Menpan juga menyebutkan pentingnya peran pengetahuan dalam pembuatan kebijakan. Bahkan Menpan akan beralih dari birokrasi konvensional ke birokrasi yang lebih responsif, mampu beradaptasi dengan situasi terkini, dan berbasis teknologi informasi. Untuk lebih jelasnya, presentasi mereka bisa dibaca di sini.

Kurang Berbasis Riset 

Jika sudah memiliki niat baik, inisiatif, dan kerja keras, lalu mengapa jumlah kasus Covid-19 masih terus meningkat drastis? Ada banyak faktor yang bisa kita analisa, tetapi hal terpenting yang perlu kita lihat adalah sejauh mana kebijakan yang diambil berbasis bukti atau riset-riset yang telah dilakukan.

Contohnya, penyajian data rasio kematian COVID-19 dari BNPB. Data dari mereka mengesankan angka kematian korban Covid-19 di Indonesia tidak setinggi di Spanyol, Italia, Perancis, dan Inggris. Padahal rasio pengujian di Indonesia merupakan salah satu yang terendah di dunia

Per Senin, 20 April, rasio pengujian di Indonesia hanya berkisar 161 tes per satu juta penduduk. Angka ini sangat jauh di bawah Spanyol (20.023), Italia (23.642), Prancis (7.055), dan Inggris (5.733). Menurut peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, BNPB tidak menggunakan prinsip-prinsip metodologi ilmiah dalam mengolah datanya

Tidak lama sejak data BNPB yang blunder disebarkan, Mentan Syahrul Yasin Limpo, memperkenalkan kalung anti-Covid kepada publik. Kalung yang belum teruji secara ilmiah tersebut sudah diklaim Kementan sebagai kalung yang mampu membunuh virus corona. Bahkan kalung tersebut akan mulai diproduksi pada bulan Agustus.

Dalam penanganan dampak sosial ekonomi pandemi pun, data dan bukti belum digunakan dengan baik. Seperti contohnya, masyarakat mengatakan bahwa bantuan sosial (bansos) dari pemerintah dalam bentuk sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan dana program keluarga harapan (PKH) untuk penanggulangan dampak pandemi Covid-19 belum efektif. Survei yang dilakukan SMRC menunjukkan fakta-fakta berikut:

  • 49 persen warga menyatakan bantuan sosial itu belum mencapai sasaran

  • 60 persen warga melihat adanya warga lain yang berhak tetapi belum menerima bantuan

  • 29 persen warga menilai bahwa bansos justru diberikan kepada yang tidak berhak

  • Dari total 34 persen warga Indonesia yang berhak mendapat bansos, baru 21 persen warga yang menyatakan sudah menerima

  • Masih ada 13 persen warga yang belum menerima bantuan, atau sekitar 35 juta orang dari populasi nasional 2020 yang diproyeksikan 271 juta jiwa

  • 55 persen warga menyatakan hanya menerima sembako saja dan sebanyak 16,6 persen warga menyatakan menerima dana program keluarga harapan (PKH) saja

  • 11,8 persen warga menyatakan menerima sembako dan PKH saja

  • 10,3 persen warga menyatakan menerima sembako dan BLT saja 

  • 5,2 persen menyatakan menerima BLT saja

  • Sebanyak 87 persen warga yang sudah mendapat bantuan menyatakan bahwa bantuan tersebut hanya cukup untuk dua minggu atau kurang

Fakta di atas sangat mengkhawatirkan dan mengecewakan, mengingat bantuan tersebut menggunakan uang negara yang tidak sedikit namun tidak tepat sasaran. Mengapa selama bertahun-tahun data persebaran warga yang berhak mendapatkan bansos tidak diperbaharui? Mengapa justru sekedar dipukul rata?

Data rasio kematian dari BNPB, klaim Mentan mengenai kalung anti-corona, dan persebaran bansos oleh Kemensos, menunjukkan bahwa bukti dan riset yang diambil pemerintah bersifat “cherry picking” atau sengaja memilih bukti dan riset untuk digunakan sesuai dengan kepentingan politis. Masalahnya bukan lagi kebijakan yang tidak berdasarkan bukti dan riset, tetapi bagaimana menerapkan prinsip kebijakan berbasis bukti yang mengutamakan data/bukti terpercaya dan mengesampingkan aspek vested and political interests serta desakan untuk menyelesaikan headline-grabbing problems secara cepat.

Padahal terbukti bahwa kebijakan yang tidak berbasis bukti dan riset pada akhirnya tidak tepat sasaran dan bahkan tidak menyelesaikan masalah. Jika demikian, untuk apa pemerintah bekerja keras sedemikian lupa jika hasil akhirnya kurang bermanfaat bagi masyarakat?

Belum Terbentuknya Ekosistem Riset yang Kuat

Tidak benar jika dikatakan semua kebijakan pemerintah tidak berbasis riset. Beberapa kebijakan pemerintah memang sudah berdasarkan riset. Namun mengapa hasil dari beberapa kebijakan berbasis riset seperti persebaran bansos masih kurang baik? Apa yang kurang? Apa yang salah?

Kita tidak mungkin dapat menghasilkan sebuah riset yang baik dan bermanfaat apabila tidak diawali dengan memiliki data yang berkualitas atau bahkan tidak tersedia. Inilah permasalahan riset di Indonesia: kita tidak memiliki data yang memadai.

Ini artinya pemerintah perlu memperhatikan ketersediaan dan kualitas data di Indonesia. Bagaimana caranya? Dengan segera memperbaiki ekosistem riset, seperti menyediakan dana yang mencukupi bagi peneliti untuk melakukan riset-riset yang menghasilkan data-data terbaru yang lengkap dan berkualitas, serta mendorong dan menerapkan prinsip keterbukaan dan berbagi pakai data.

Riset Tak Hanya Ilmu Pasti

Sekali lagi, beberapa kebijakan pemerintah memang sudah berbasis bukti dan riset. Namun, kerap kali basis bukti yang digunakan tidak memberikan pemahaman yang cukup komprehensif mengenai konteks masyarakat dan budaya karena analisis yang belum dilengkapi oleh perspektif ilmu sosial humaniora yang mendalam. Dalam kenyataannya, ilmu sosial humaniora pun masih dianggap sebagai pelengkap saja.

Banyak pemimpin yang masih menganggap ilmu sosial humaniora tidak bermanfaat dalam pengambilan kebijakan terutama dalam era pandemi ini. Padahal tidak benar.

Knowledge Management Creative Hub dari UGM, Dendy Raditya, mengatakan, anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak berguna itu tidak tepat. Ia pun memberikan rangkuman melalui laman Twitter-nya mengenai kegunaan dari beberapa cabang ilmu sosial-humaniora pada masa pandemi.

  • Ilmu Ekonomi: Menyusun paket kebijakan penyelamatan ekonomi selama dan pasca pandemi.

  • Ilmu Politik: Membantu masyarakat, ilmuwan, dan tenaga medis untuk mengorganisir kekuatan agar mereka punya daya tekan politik sehingga bisa mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat.

  • Akuntansi dan Manajemen: Membantu pengelolaan dan memitigasi kerugian yang dialami UMKM selama pandemi.

  • Ilmu Komunikasi: Membantu komunikasi publik untuk meminimalisir misinformasi selama pandemi.

  • Hubungan Internasional: Mengangkat contoh baik pengelolaan wabah di negara lain dan menginisiasi kerja sama lintas bangsa dalam menghadapi wabah.

  • Administrasi Publik/MKP: Menyiapkan birokrasi yang cepat tanggap dan tepat guna.

  • Sosiologi dan Pembangunan Sosial: Menyiapkan konsep dan praktik ketahanan serta pemberdayaan masyarakat selama pandemi.

  • Psikologi: Membantu menjaga kesehatan mental tiap-tiap individu yang menghadapi banyak tekanan selama pandemi.

  • Ilmu Hukum: Menjaga agar hak asasi manusia dari warga tetap terjaga dan mengawasi potensi korupsi selama pandemi.

  • Kriminologi: Membantu memitigasi agar tidak terjadi luapan kriminalitas selama pandemi.

  • Filsafat: Merumuskan etika tepat guna dan menjaga logika selama pandemi.

  • Antropologi, Arkeologi, dan Sejarah: Mengumpulkan pengetahuan lokal dari masyarakat dan contoh dari masa lalu untuk membantu penanganan wabah.

  • Geografi Manusia: Membantu menyusun hubungan yang tepat antara manusia dan ruang hidupnya untuk membantu penanganan wabah.

  • Sastra: Mengumpulkan contoh baik dari berbagai karya sastra untuk mendukung penanganan wabah yang tepat.

  • Studi Seni, Film, dan Musik: Membantu para pelaku budaya untuk tetap bisa berkarya.

  • Desain Grafis: Membuat karya desain seperti poster atau infografis penanganan wabah.

  • Studi Agama: Membantu mengurangi benturan yang tidak perlu antara agama dan sains dengan mendukung tafsiran agama yang pro terhadap penanganan wabah secara saintifik.

  • Pendidikan: Mencari cara kreatif, kontekstual, dan aman agar pendidikan bisa tetap berjalan selama pandemi.

  • Ilmu Pariwisata: Menyusun paket wisata daring dan optimalisasi produk dari desa wisata.

Namun kedepannya     , perdebatan tidak seharusnya membuat dikotomi ilmu mana yang lebih penting. Tantangan peradaban manusia sekarang dan mendatang yang semakin  kompleks, memang mau tidak mau menuntut kolaborasi lintas disiplin ilmu. Setiap bidang ilmu dituntut berkontribusi sesuai keahliannya agar dapat memberikan solusi bagi permasalahan di masyarakat.

Tidak Melibatkan Masyarakat

Untuk dapat menyelesaikan masalah baru seperti Covid-19, negara-negara butuh menciptakan inovasi-inovasi baru yang didukung pemerintahnya. Pada webinar Katadata.id, Menristek Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah menggunakan konsep Triple-Helix untuk menciptakan inovasi. Triple-Helix adalah konsep kerjasama antara aktor-aktor utama berinovasi, yaitu pemerintah, akademisi, dan industri.

“Kita ingin swasta terlibat. Karena kalau swasta terlibat langsung dalam bentuk investasi, maka kemungkinan inovasi yang dilahirkan lebih banyak dan lebih cocok untuk kebutuhan di masyarakat. Mengingat swasta yang butuh itu demi product development-nya, demi daya saing produknya. Bukan seorang peneliti membuat penelitian yang kemudian dipakai atau tidak tidak menjadi pertanyaan di masyarakat. Nah ini tentunya kita ingin semakin mendekatkan yang namanya dunia penelitian dengan industri atau dengan market,” kata Menristek Bambang.

Namun jika Menristek mengharapkan inovasi-inovasi yang lahir sesuai untuk kebutuhan masyarakat, mengapa hanya menganggap pihak swasta yang mengetahui kebutuhan masyarakat? Bukankah masyarakat lah yang paling mengetahui kebutuhan mereka sendiri? Apalagi Menristek mengatakan bahwa dengan adanya normal baru, maka segala hal akan berubah, termasuk human behavior. Jika tidak pernah melibatkan masyarakat, lalu bagaimana dapat memahami dan menciptakan inovasi untuk masyarakat? 

Peneliti senior LIPI Dewi Fortuna Anwar mengatakan, konsep yang seharusnya dipakai pemerintah dalam menciptakan inovasi adalah Penta-Helix. Konsep ini tidak hanya mengajak pihak pemerintah, akademisi, dan industri saja, namun juga pihak masyarakat melalui organisasi masyarakat dan media. Konsep Penta-Helix ini jelas lebih selaras dengan tujuan Menristek yang ingin menciptakan inovasi untuk kebutuhan masyarakat. Bahkan dalam jurnal oleh Anne Marcovich dan Terry Shinn berjudul “From the Triple Helix to a Quadruple Helix? The Case of Dip-Pen Nanolithography”, menegaskan bahwa peran masyarakat dalam menciptakan inovasi juga penting.

Jelas kewajiban pemerintah sangat berat. Mereka dituntut bertindak cepat dan berinovasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya, secara bersamaan pemerintah juga dituntut untuk berhati-hati dan bijak. Sebab inovasi dan kebijakan yang dibuat sekarang akan membentuk nasib masyarakat hingga dekade mendatang.

Seperti ketika pemerintah membuat langkah pertolongan darurat dan pemulihan jangka panjang, sangat penting bagi mereka untuk mempertimbangkan bahwa masalah-masalah yang terjadi jauh sebelum pandemi akan beresiko menjadi semakin parah. Contohnya semakin banyak ketimpangan sosial, semakin banyak diskriminasi, dan bahkan semakin banyak perusakan lingkungan.Tanpa melibatkan masyarakat melalui organisasi masyarakat dan media, pemerintah seakan tidak ingin mengetahui masalah-masalah masyarakat di lapangan dengan lebih dalam. 

Screen Shot 2020-08-17 at 17.24.28.png

Seperti permintaan pemulihan yang adil dari organisasi lingkungan 350.org. Jika pemerintah memang ingin membuat kebijakan dan inovasi untuk kesejahteraan masyarakat, pemerintah seharusnya menjunjung tinggi lima prinsip ini:

  1. Kesehatan merupakan prioritas utama, untuk seluruh rakyat, tanpa terkecuali

    Menyediakan pelayanan kesehatan di semua tempat, memastikan akses untuk semua.

  2. Menyediakan kelonggaran ekonomi secara langsung kepada rakyat

    Prioritaskan masyarakat dan pekerja, terutama mereka yang sudah termarjinalkan dalam sistem, sediakan kebutuhan jangka pendek dan  jangka panjang.

  3. Menyelamatkan pekerja dan komunitas, bukan petinggi perusahaan dan elit penguasa

    Bantuan kepada pihak terdampak, haruslah ditujukan kepada komunitas dan pekerja, bukan pada pemegang saham, petinggi perusahaan, atau pejabat tinggi negara, dan jangan pernah diberikan kepada korporasi yang berkontribusi menyebabkan krisis iklim.

  4. Membangun kesiapsiagaan untuk krisis-krisis baru

    Kita harus membangun jutaan lapangan kerja yang layak yang dapat membantu transisi yang adil bagi pekerja dan masyarakat untuk menuju masa depan rendah karbon yang kita butuhkan.

  5. Membangun solidaritas dan komunitas lintas batas, bukan menuju otoritarianisme

    Berbagi kemampuan teknis terkait teknologi maupun finansial bagi negara atau komunitas dengan pendapatan rendah yang memungkinkan mereka mengatasi covid19. Dorong solusi lintas batas dan lintas komunitas. Jangan gunakan krisis sebagai pembenaran atas praktek-praktek yang melanggar HAM, hak-hak sipil dan politik, serta prinsip-prinsip demokrasi. 

Bayangkan jika pemerintah juga melibatkan organisasi masyarakat maupun media, kebijakan dan inovasi yang tercipta jelas akan lebih bermanfaat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya pemerintah memang jarang melibatkan masyarakat. 

Seperti yang dipaparkan Menristek, dalam menangani Covid-19 saja, pemerintah hanya melibatkan pemerintah sendiri, akademisi, dan pihak swasta atau industri. Jadi sebenarnya kebijakan dan inovasi itu untuk siapa? Apakah tidak semakin tersesat jika tidak tepat sasaran?

Belum Terlambat

Indonesia masih sangat muda, yaitu 22 tahun. Karena bagi saya, Indonesia baru merdeka setelah Soeharto turun jabatan dan bangsa Indonesia akhirnya bisa merebut hak-hak yang selama ratusan tahun diambil dari penjajah dan diktator. Jadi apa yang bisa kita harapkan dari sebuah negara yang baru berumur 22 tahun ini? 

Banyak hal. Kita bisa berharap bangsa Indonesia akan selalu belajar dari segala masalah dan kesalahan yang sudah terjadi selama ini. Tak ada negara maju di dunia ini yang tidak menghadapi masalah-masalah berat sebelumnya selama ratusan tahun.

Di tahun 2045 nanti, Indonesia punya visi menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar. Visi menjadi negeri yang maju, adil, dan makmur dengan salah satu pilarnya adalah Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Seperti yang diungkapkan dalam pidato kenegaraan Presiden 14 Agustus lalu, manusia Indonesia harus unggul dalam inovasi dan teknologi. Efisiensi, kolaborasi, dan teknologi diprioritaskan untuk membangun ekosistem nasional yang produktif dan inovatif. 

Sayangnya, dalam pidato yang sama, ekosistem riset sama sekali tidak disebutkan. Padahal memajukan pengetahuan dan inovasi membutuhkan ekosistem yang baik, seperti yang dituangkan Pak Yanuar Nugroho dalam opininya di Majalah Tempo 10 Agustus lalu, Urgensi Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi.

Menggaungkan kembali opini beliau, sektor pengetahuan dan inovasi kurang mendapat perhatian. Baik secara praktis, maupun konseptual dan kebijakan – tercermin dari tidak berfungsinya, atau malah tiadanya, ekosistemnya.

Apakah visi 2045 bisa dicapai? Bisa. Semua itu belum terlambat. Asalkan, sektor ini tidak lagi dianaktirikan. Pembangunan ekosistem riset tidak lagi ditunda. Tentu saja, komitmen politik para pembuat kebijakan amat dibutuhkan. 

Semoga Indonesia tetap tegak berdiri meraih visi di 2045 nanti.