Mengawasi Pemerintah dalam Swasembada Minyak

Sama seperti Ahok yang sekarang dicurigai akan menguasai Indonesia bersama orang-orang Cina, Jokowi juga pernah dicurigai akan mengutamakan pihak asing di atas kepentingan bangsa. Keduanya dicurigai saat mereka sedang dalam masa kampanye pemilihan Gubernur DKI dan presiden. Apakah betul demikian? Bisa jadi. Namun dalam tulisan saya 3 tahun yang lalu, saya pernah mengatakan, jika kita merasa Jokowi tidak bisa membela kepentingan bangsa di atas kepentingan asing, maka kita akan dapat dengan lantang tanpa rasa takut untuk mengkritisinya. Dan hal tersebut telah kita lakukan dalam 3 tahun terakhir setelah kemenangan Jokowi di pilpres 2014: kita terus mengkritisinya.

Mengkritisi harus dilakukan oleh warga sebuah bangsa untuk terus menjaga kinerja pemerintahnya. Namun untuk dapat mengkritisi pemerintah, kita harus memulainya dari memberi kepercayaan, memiliki kemampuan memahami masalah, rajin mengamati kinerja pemerintah, dan mendukung atau menolaknya. Dengan demikian, kita dapat berlaku adil. Kita jadi tahu mana keputusan pemerintah yang harus kita apresiasi dan dukung, dan mana keputusan pemerintah yang harus kita tolak dan pertanyakan.

Sensi tapi Butuh

Keputusan pemerintah yang berhubungan dengan pihak asing adalah keputusan yang sangat sensitif bagi bangsa ini. Terlalu lamanya kita dijajah pihak asing membuat kita selalu ketakutan dan penuh curiga. Bagi saya, ini adalah sikap yang baik untuk bangsa agar kita tidak mudah dijajah kembali. Namun kecurigaan dan sikap negatif tanpa memiliki kemauan dan kemampuan memahami masalah dapat berujung negatif untuk diri sendiri.

Seperti contohnya keputusan pemerintah mengimpor bahan bakar minyak dari Singapura dan Malaysia. Bahkan kita sudah sangat amat tergantung dengan mereka. Dalam satu tahun, kita membutuhkan kurang lebih 72 juta liter BBM, padahal Pertamina hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 39 juta liter BBM. Tak ada jalan lain, kita harus mengimpor bahan bakar. Kalau tidak impor, bagaimana kita bisa hidup? Di sisi lain banyak yang berkoar anti asing, di sisi lain butuh impor dari mereka. Gimana dong?

Sensi tapi Butuh dan Boros lalu Marah-marah :|

Kita sensi dengan keputusan pemerintah yang terus mengimpor. Padahal keputusan itu yang paling masuk akal untuk memenuhi kebutuhan kita. Tak hanya butuh, tapi kita juga boros menggunakannya. Tak mau menggunakan kendaraan umum, memilih bepergian dengan kendaraan pribadi. Bahkan satu keluarga memiliki kendaraan masing-masing. Kita ini sensi tapi butuh dan boros. Kemudian saat subsidi BBM dikurangi, kita pun marah-marah protes ke pemerintah. 

Masyarakat marah dan protes kepada keputusan pemerintah itu harus, namun harus diimbangi dengan kemampuan memahami masalahnya. Jika hanya marah tapi di sisi lain tak memahami masalah dan justru turut menciptakan masalah, ini bukan sikap yang adil. Bukan pula sikap yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa.

Solusi dari Pemerintah

Jokowi ingin melepaskan Indonesia dari ketergantungan BBM dengan pihak asing, atau dengan seksinya mereka sebut swasembada bahan bakar minyak untuk mewujudkan nawacita. Memang hal ini terdengar baik untuk bangsa dan kita harus percaya niat baik mereka. Namun walaupun kita percaya, kita tetap harus memahami dan mengamatinya.

Indonesia memiliki PT Pertamina dalam mengoperasikan kilang minyak di Indonesia. Sebenarnya mereka memiliki 7 kilang minyak namun karena alasan ekonomis, satu kilang tidak dioperasikan lagi. Sehingga saat ini hanya memiliki 6 kilang minyak. Kapasitas produksi keenam kilang minyak itu 1.05 juta barel per hari. Namun pada pelaksanaannya, dari keenamnya hanya dapat menghasilkan 800-950 ribu barel per hari.

Tentu saja angka tersebut tidak cukup bagi bangsa yang boros BBM ini. Sehingga kita butuh mengimpor dari negara asing. Ini menyebabkan rasio ketergantungan kita akan import dari tahun ke tahun meningkat antara 33-44% dan menguras devisa negara. Mau nggak mau kita butuh pihak asing. :|

Kemudian pemerintah mengeluarkan solusi melalui Pertamina dengan melakukan 2 hal. Pertama proyek pengembangan kilang minyak yang sudah ada dan kedua proyek pembangunan kilang minyak baru yaitu New Grass Root Refinery (NGRR) di Tuban dan Bontang. Kedua proyek akan membutuhkan dana sekitar 500 triliun rupiah dan selesai dalam waktu 7 tahun (yaitu di tahun 2023). Jika pembangunan ini sukses, maka diperkirakan kapasitas produksi kilang minyak yang dioperasikan Pertamina menjadi 2.2 juta barel per hari, dari yang tadinya hanya 1.05 juta barel per hari.

Mengkritisi Solusi Pemerintah

Solusi pemerintah ini terdengar hebat dan menjanjikan, namun kita harus terus mengamatinya dan mengkritisinya. Pertama, dana yang dikeluarkan. Apapun pengeluaran pemerintah, walaupun hanya untuk membeli secarik kertas, harus selalu kita awasi. Karena itu uang milik kita semua, maka menjadi hak kita untuk ikut campur. Apalagi jika ini adalah mega proyek senilai 500 triliun rupiah dan dilaksanakan oleh banyak pihak. Kita harus menagih transparansinya dan membandingan wujudnya dengan dana yang telah kita keluarkan.

Kedua, adanya pihak lain selain Pertamina dalam melaksanakan mega proyek ini. Dalam berita di Detik ini, disebutkan bahwa Pertamina juga bekerja sama dengan perusahaan minyak dan gas yang sudah memiliki reputasi internasional. Tapi siapa? Kita tahu banyak perusahaan asing maupun dalam negeri yang memiliki reputasi baik dalam berbisnis, namun sebenarnya memiliki reputasi buruk dalam bekerja sama. Jadi masyarakat harus tahu dengan siapa saja pemerintah dan Pertamina bekerja sama.

Percaya Pemerintah Indonesia dan Pertamina

Saya percaya dan ingin masyarakat menaruh kepercayaan tinggi kepada pemerintah Indonesia maupun Pertamina, bahwa mereka akan melakukan pembangunan mega proyek ini dengan bersih dan niat baik untuk bangsa. Agar kebutuhan masyarakat jadi tercukupi, dengan biaya yang lebih ekonomis, dan tak lagi tergantung pihak asing.

Semoga kepercayaan dan upaya kami dalam mengamati kinerja pemerintah menjadi bahan bakar untuk mereka dalam menjalankan tugasnya yang mulia.