Laporan IPCC 2021, Belajar dari Sifan Hassan dan Simone Biles

Sifan Hassan, pelari perempuan asal Belanda itu membuat kejutan di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Walaupun sempat terjatuh saat bertanding di semifinal, ia mampu berdiri lalu mengejar semua lawan di depannya, dan menjadi juara pertama! Begitu pula Simone Biles. Pesenam perempuan asal Amerika Serikat yang sebelumnya mengundurkan diri untuk kesehatan mentalnya, kembali ke pertandingan terakhir, dan menang. Sifan dan Simone menunjukkan, di situasi yang tidak memungkinkan sekalipun, jika kita mau maka kita mampu meraih kemenangan.

Berita-berita bersejarah tersebut menutup Olimpiade Tokyo 2020 pada Senin, 8 Agustus 2021 dan menghibur hari-hari PPKM kita. Namun, keluarnya laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di hari yang sama membuatnya menjadi antiklimaks. Bagaimana tidak? Kita ternyata sudah di ujung kehancuran dunia. Tetapi ironisnya, para pemimpin dunia justru memperparah keadaan. 

Sebelumnya, laporan IPCC tahun 2018 telah menggemparkan dunia karena menyebutkan, jika kenaikan suhu bumi mencapai 1,5°C, maka bumi berisiko hancur dan waktu kita untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran hanya sampai tahun 2030. Tahun ini, laporan IPCC 2021 lebih mencemaskan lagi, karena mereka menyebutkan perkiraan dalam laporan IPCC 2018 itu terlalu optimis. Panel yang pernah mendapatkan Nobel Perdamaian tahun 2007 tersebut melaporkan bahwa kita ternyata sudah di ambang melebihi 1,5°C dari perkiraan sebelumnya. Bahkan pandemi yang sempat menurunkan aktivitas manusia itu tidak berdampak besar dalam menurunkan emisi yang menyebabkan pemanasan global. Jadi besar kemungkinan waktu kita untuk menyelamatkan bumi sebelum memasuki kehancuran tak lagi hingga tahun 2030, melainkan lebih cepat.

Sejak revolusi industri tahun 1800-an, manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil yang menyebabkan kenaikan suhu bumi selama seabad meningkat hingga 1,2°C dan sekarang naik hampir 1,5°C. Walaupun kenaikan itu terdengar sangat kecil, namun dampaknya pada kehidupan di bumi sangat besar, seperti terjadinya gelombang panas, musim kemarau berkepanjangan, hingga hujan lebat dan banjir besar. 

Kita juga sudah hampir mencapai sembilan titik kritis yang secara radikal maupun permanen akan mengubah keseimbangan alam. Salah satunya, mencairnya permafrost Siberia (tanah beku abadi) yang menyebabkan adanya kemungkinan lepasnya penyakit-penyakit tua yang telah terperangkap dalam es selama ribuan tahun dan kita tidak memiliki pertahanan terhadapnya. Atau mencapai titik dimana kerusakan sistem sirkulasi Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), yang dapat membuat sebagian besar dunia menjadi sesuatu yang mirip dengan zaman es baru. Semua bencana ini akan memaksa masyarakat dunia bermigrasi secara besar-besaran dan berpotensi menciptakan konflik hingga perang.

Apa solusinya? Menurut para ilmuwan dunia yang didukung oleh masyarakat adat maupun pejuang iklim dunia, satu-satunya cara paling signifikan adalah dengan menghentikan semua pembakaran fosil di dunia dan melakukan transisi menuju 100% energi terbarukan secara adil. Lantas, apa yang sudah dilakukan para pemerintah di dunia?

Berbagai janji-janji sudah mereka katakan. Namun, aksi riil lebih nyaring bunyinya. Presiden Joko Widodo misalnya. Walaupun dalam Perjanjian Paris telah berjanji berkontribusi menurunkan emisi melalui kebijakan, namun nyatanya justru membangun banyak PLTU baru di Indonesia. Atau misalnya Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In, yang bahkan menyatakan bahwa Green New Deal adalah satu-satunya cara mempertahankan hidup, justru bertindak sebaliknya. Ia memang menutup 10 PLTU di negaranya, namun secara bersamaan mendanai PLTU di beberapa negara berkembang seperti PLTU Jawa 9 dan 10 di Indonesia. Begitu pula Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau. Walaupun telah diprotes berbagai pihak di dunia, ia tetap berambisi akan membangun pipa minyak Keystone XL antara Kanada dan Amerika Serikat.

Tindakan-tindakan pemerintah dunia itu adalah cara mereka menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap masa depan kita. Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Sayangnya, kontribusi individu, seperti menghemat listrik dan bensin, tidak signifikan menurunkan emisi, jika industri fosil di dunia masih beroperasi. Namun ada satu cara ampuh yang bisa kita lakukan.

Agar industri fosil berhenti, bank-bank di dunia harus segera menghentikan pendanaan terhadap industri tersebut. Kabar baiknya, sudah banyak bank-bank di dunia yang melakukannya. Namun ironisnya, bank-bank di Indonesia, bahkan milik negara, justru semakin kencang mendanai batu bara. Laporan lembaga Urgewald menunjukkan, sebanyak enam bank di Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. Keenam bank tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.

Tetapi tak seperti industri fosil, bank sangat peduli dengan nasabahnya. Artinya, kita memiliki peluang besar untuk didengarkan. Di sinilah kontribusi terbesar kita sebagai individu untuk menyelamatkan iklim: desak bank-bank, tempat uang kita disimpan, agar segera menghentikan pendanaan pada industri fosil. Pastikan uang kita tidak kita percayakan pada bank-bank perusak alam.

Mungkinkah perjuangan ini berhasil? Seperti pengalaman Sifan dan Simone, apa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Jika memiliki kemauan, maka kita bisa menang. Pertanyaannya, apakah para pemerintah dan bank-bank yang masih mendanai batu bara memiliki kemauan itu?