Terima Kasih Sondang Hutagalung

Sondang Hutagalung, mahasiswa muda Universitas Bung Karno, yang nekat membakar dirinya tepat di depan Istana Merdeka Jakarta, Rabu, 7 Desember 2011 lalu. Ia meninggal dunia 3 hari setelah aksinya, Sabtu, 10 Desember 2011.

Sesaat setelah saya mengucapkan bela sungkawa terhadap kematian Sondang, ada seorang teman bertanya, "menurut kamu, aksi Sondang itu sebuah aksi kepahlawanan atau ketololan?" Saat itu saya merasa belum mampu mengomentari aksi Sondang. Too early for that. Saya merasa harus diam dulu. Mencermatinya dahulu.

Saya mulai membaca komentar-komentar masyarakat mengenai aksi Sondang. Banyak yang memuji dan menghormati aksi Sondang, tapi tak sedikit yang memberi komentar negatif dan kecewa.

Itu bukan aksi kepahlawanan. Itu aksi ketololan. Kenapa harus bunuh diri? Sondang masih bisa berguna untuk negri ini jika dia masih hidup. Apa dia tidak kasihan dengan keluarga dan teman yang dia tinggal?

Secara logika saya setuju. Namun hati kecil saya tidak setuju. Hati kecil saya mengatakan aksi Sondang tidak sia-sia. Aksi Sondang justru bermakna sangat dalam. Ia pantas disebut pahlawan karena aksinya. Namun saat itu saya tidak mampu menguraikan isi hati saya dengan kata-kata yang tepat.

Sampai akhirnya saya menemukan komentar insensitive,

Sondang itu frustasi.

Saya ikut sakit hati untuk Sondang karena komentar ini. Saya terpukul dan tak tahan untuk berdiam lebih lama. Saya merasa harus serius membelanya. Saya niatkan itu. Butuh waktu untuk memahami hati kecil saya, sehingga saya bisa mampu mengutarakan dengan kata-kata yang tepat. Sore ini saya berhasil memahaminya.

Kita telah memandang sebuah perjuangan dengan sempit. Bahwa perjuangan itu harus ada bentuk fisiknya, bisa dilihat, bisa dirasakan secara jelas, bisa langsung dimanfaatkan rakyat. Apakah perjuangan hanya sebatas itu? Tidak. Menyadarkan rakyat bahwa negara ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan adalah sebuah perjuangan baru.

Tepat pada Hari Hak Asasi Manusia, hal yang selalu Sondang perjuangkan, ia meninggal dunia. Namun kematiannya telah berhasil menunjukkan kepada dunia betapa prihatinnya Indonesia kita. Dia berhasil membuat kita terpukul, ada seorang anak bangsa yang membakar dirinya sendiri di depan istana negara untuk menunjukkan kekecewaan dan kemarahannya terhadap perlakuan pemerintah Indonesia atas rakyatnya. Ia mengorbankan nyawa dan meninggalkan keluarganya untuk sebuah niat memperbaiki negri ini. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan.

Mungkin ada banyak yang mengatakan aksi Sondang adalah aksi pesimis terhadap bangsa ini. Saya tidak setuju. Justru ini adalah aksi optimis. Mereka yang pesimis adalah mereka yang masa bodoh, tidak peduli dengan nasib bangsanya, dan memilih untuk peduli pada dirinya sendiri. Mereka yang pesimis adalah mereka yang tidak peduli bagaimana jalannya negara ini, asalkan ia masih bisa makan enak dan hidup tenang. Karena mereka yakin, apapun yang mereka lakukan tak akan merubah Indonesia. Sondang tidak pesimis. Saking cintanya ia kepada bangsa ini, saking sakit hatinya dia merasakan korban-korban pelanggaran HAM di negara ini, ia merelakan nyawanya untuk menunjukkan hal itu kepada kita. Sondang optimis bahwa bangsa ini masih bisa berubah menjadi bangsa yang lebih baik, jika ada yang mengingatkan. Sondang telah mengingatkan kita. Kita harus berubah. Inilah perjuangan baru.

Atas apa yang saya pahami sore ini, saya tak rela aksi Sondang dikatakan sia-sia, tak berguna, atau bahkan tolol. Aksinya jauh dari itu. Apa yang Sondang rasakan, seharusnya juga kita rasakan. Saya ingin kita menghormatinya atas perjuangnnya. Terima kasih Sondang, atas jasamu mengingatkan kita untuk mengubah bangsa ini dari kondisi yang memprihatikan. Salam untuk Tuhan yang berada di sampingmu sekarang. ;)

PS: I wish I knew you.