Belajar Berdamai dari Korban Ketidakadilan

Seminggu yang lalu, saya datang mengikuti sebuah pertemuan ibu-ibu korban pelanggaran HAM berat pada tahun 1965. Saat mereka masih remaja, mereka ditangkap, dipenjara, dan disiksa bersama banyak korban lainnya karena dituduh sebagai komunis.

Munculnya rezim Orde Baru menciptakan kekerasan. Membunuh lima ratus ribu hingga satu juta manusia di seluruh Indonesia. Satu juta korban lainnya ditangkap dan dipenjara hingga lebih dari satu dekade, tanpa pengadilan.

Saya menemui (dari kiri ke kanan), Ibu Sri Muhayati, Ibu Suratmi, Ibu Sumilah, Ibu Endang, dan Ibu Mamik. Mereka ditangkap dan dipenjara rata-rata 8-14 tahun saat usia mereka hanya 14-24 tahun.

Saya pikir, sangat sulit bagi mereka untuk menghadapi masa lalu yang sedemikian kejamnya, apalagi untuk membagikan kisah pahit itu. Tapi saat saya menanyakannya, saya melihat tidak ada amarah dari mata mereka. Saya tidak tahu bagaimana bisa mereka berdamai dengan dirinya sendiri menghadapi kenyataan itu. Mungkin sederhana saja, karena mereka adalah jiwa-jiwa yang hebat.

Dalam kesempatan ini, saya membagikan beberapa cerita pendek mengenai tiga dari mereka, yaitu Ibu Sumilah, Ibu Suratmi dan Ibu Sri Muhayati. Cerita-cerita yang lain akan menyusul.

Ibu Sumilah

Dalam pertemuan siang itu, seorang korban lain berbisik kepada saya, "Ibu Sumilah itu tokoh lho itu. Anda bertemu tokoh." Iya ia seorang tokoh. Cerita tentangnya sudah lama saya dengar. Akhirnya saya bertemu langsung.

Tokoh karena ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara selama 8 tahun saat masih berusia 14 tahun. Ia dituduh komunis karena menari di pertemuan Gerwani, gerakan yang juga dituduh gerakan komunis. Padahal saat itu ia hanya seorang anak kecil berusia 14 tahun, tidak lulus SD karena tidak mampu membayar sekolah, dan suka menari. 

Selama 8 tahun itu ia disiksa dan dipaksa mengakui bahwa ia seorang komunis. Jangankan komunis, saat itu arti kata "merdeka" saja ia tidak tau.

Ibu Suratmi

Ia ditangkap lalu dipenjara selama 14 tahun karena menjadi anggota Gerwani. Selama 14 tahun itu pula ia harus meninggalkan anaknya yang masih SD kelas 4. Saat ia dibebaskan, anaknya sudah berkeluarga dan bahkan sudah memiliki anak.

Setelah bercerita panjang lebar tentang pengalaman pahitnya itu, saya berkomentar,

"Hebat sekali Ibu masih keliatan sehat dan bahagia walau punya pengalaman seperti itu."

Ia terhenyak lalu tersenyum,

"Ah semua itu akhirnya bahagia. Semua itu akhirnya ada hikmahnya."

"Apa hikmahnya, Bu?"

"Saya jadi punya banyak teman."

Ibu Sri Muhayati

4.jpg

Sejak pagi hingga sore saya duduk di sebelah Ibu Muhayati. Ia mengajak saya untuk duduk di kursi sebelahnya daripada duduk sendirian di lantai. Hari itu ia banyak berbagi cerita dan berbagi pengalamannya kepada saya.

Tahun 1965 Ia masih berusia 24 tahun dan sedang kuliah di Fakultas Kedokteran Umum UGM. Namun ia ditangkap karena aktif mengikuti gerakan mahasiswa yang dituduh pro komunis. Karena dituduh komunis, ia di-DO dari KU UGM. Kemudian ia ditangkap bersama ibunya dan meninggalkan 3 adiknya yang masih SD dan SMP. Mereka dipenjara selama 5 tahun. Sedangkan ayahnya pun dituduh komunis dengan berbagai alasan yang akhirnya dibunuh dan dikubur entah dimana. 

Saat saya tanya apa momen tersedih saat di penjara, ia mengaku saat memikirkan adik-adiknya. Kadang ia tidur menutupi mukanya dengan selimut agar ibunya tidak tau ia menangis memikirkan adik-adiknya.

Tetapi ia bukan perempuan yang lemah. Ia justru perempuan yang pemberani, pemberontak. Seperti keberaniannya yang selalu menyikut petugas penjara yang berusaha memegangnya. Ia pun mengaku selalu membalas ucapan para petugas yang berusaha menekannya.

Seperti saat salah satu petugas mengatakan ia ditangkap dengan alasan tidak menjalankan Pancasila karena diduga atheis, ia pun balas menjawab,

"Tidak ada yang tau iman seseorang. Jangan-jangan saya lebih beriman daripada Anda? Mana saya tau Anda beriman?"

Lalu sambil menunjuk petugas yang sedang menyiksa napi yang sudah tua, ia lanjut berteriak,

"Dan jangan kira Pancasila hanya sila 1! Anda tau tidak bunyi sila 2? Kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu kemanusian tidak? Itu beradab tidak? Yang tidak menjalankan Pancasila itu siapa?"

Ia mengaku para petugas menjadi sangat sopan dan baik dengannya. Bahkan selalu menanyakan keadaannya dan memberi makanan kepadanya.

Saat saya tanya apa momen yang tak terlupakan saat di dalam penjara, sambil meringis jahil ia bercerita,

"Hampir setiap sore para petugas itu memaki-maki kami yang dipenjara. Kasar sekali seperti 'lonte!', 'kalian pelacur!', atau 'bajingan!' Saya tidak tahan mendengarnya. Jadi setiap mereka mulai meneriaki kami, saya nyanyi saja lagu Darah Rakyat kencang-kencang agar tidak mendengar suara mereka.

Lagunya seperti ini, 'Darah rakyat masih berjalan. Menderita sakit dan miskin. Padanya datang pembalasan. Rakyat yang menjadi hakim. Ayuh! ayuh! Bergerak! Sekarang! Merah Putih panji-panji kita. Merah warna darah rakyat!'

Eh kok ternyata para tahanan laki-laki mendengar saya menyanyi! Jadi mereka pun mulai ikut menyanyi bareng saya! Kita semua jadi menyanyi Darah Rakyat bersama-sama! Hahaha!"

Seperti Eyang Putri

Selesai pertemuan, saya menelpon ibu saya minta dijemput di rumah Ibu Mamik, tempat dimana pertemuan itu berlangsung. Saat saya sedang menelpon ibu saya, Ibu Suratmi berbisik, "minta dijemput di rumah saya saja. Main ke rumah saya ya? Dekat kok." Saya pun mengangguk dan mengarahkan ibu saya untuk menjemput saya di rumah Ibu Suratmi.

Kami berdua berjalan bersama ke rumahnya. Memang betul, tidak terlalu jauh dari rumah Ibu Mamik, kami berdua sudah sampai di rumahnya. Rumahnya sangat asri. Saya pun dipersilahkan masuk ke ruang keluarganya dan diperkenalkan kepada suaminya yang juga seorang korban pelanggaran HAM tahun 1965.

Kami mengobrol panjang, sampai akhirnya ibu saya sudah sampai di depan rumahnya. Setelah sempat mengambil gambar mereka, saya pamit pulang.

Sampai di dalam mobil, saya menoleh ke arah rumahnya, ternyata Ibu Suratmi masih berdiri di depan pintunya menunggu saya hingga saya pergi. Saya pun membuka kaca mobil yang melaju menjauhinya dan melambai ke arahnya. Ibu Suratmi membalas melambaikan tangannya kepada saya. Persis seperti yang saya dan almarhum eyang putri saya lakukan dahulu, kami saling melambaikan tangan sampai saling tak terlihat. Oh God, you just sent me love. (: