Masalah “Tanpa Sendok” Hingga Mitigasi Krisis Iklim

Di akhir Februari ini, ‘Tanpa Sendok’ sempat menjadi trending topic di Twitter. Saya yang memulai posting “Tanpa Sendok” pun tidak menyangka akan seheboh ini.

Bermula dari kekecewaan saya saat memesan makanan di sebuah aplikasi online, GoFood. Untuk kesekian kalinya, makanan pesanan saya tetap diberi sendok plastik. Padahal saya tidak membutuhkannya dan sudah meminta jangan diberi sendok, apalagi jika terbuat dari plastik.

Tentu saya kecewa. Sebab, bagaimanapun usaha kita memanfaatkan sendok-sendok plastik itu, pada akhirnya akan tidak dibutuhkan dan menjadi sampah. Daur ulang plastik pun tidak cukup menjadi solusi, karena faktanya hanya 9% sampah plastik di dunia yang didaur-ulang. Padahal plastik terbukti akan merusak alam selama ratusan tahun. Sehingga lebih baik kita tidak memilikinya jika tidak membutuhkannya.

Sampah plastik adalah persoalan serius di Indonesia. Bagaimana tidak, menurut sebuah penelitian yang dipimpin oleh Jenna Jambeck, seorang insinyur lingkungan di University of Georgia, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai sumber sampah plastik di lautan setelah Cina. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebutkan, sampah plastik di Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Sementara menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2018, sekitar 0,59 juta ton sampah plastik berakhir di laut.

Ini lah mengapa “Tanpa Sendok” bukan sebuah persoalan sepele. Ada persoalan lingkungan hidup dan masalah sistemik di baliknya.

Benarkah Perubahan Seharusnya dari Tingkat Individu?

Baik konsumen maupun pihak restoran mungkin bisa mengambil inisiatif meminimalisir penggunaan plastik. Akan tetapi, menggantungkan perubahan individual sebagai solusi masalah sistemik akan sulit.

Sebab, perubahan individual tergantung pada kemampuan setiap individu dalam melakukan perubahan tersebut. Seperti pendidikan, keadaan ekonomi, beban pekerjaan, kondisi fisik dan mental. Oleh karena perbedaan tersebut, akan menjadi sulit untuk mengharapkan seluruh individu dapat memberikan kepedulian dan inisiatif yang sama. 

Ditambah lagi, perubahan individual itu terjadi secara sporadis dan tidak konsisten. Sebab tidak ada struktur yang mendorong individu untuk berubah bersama-sama. Contohnya, kalaupun para karyawan restoran peduli dengan pesanan saya untuk tidak memberikan sendok plastik, belum tentu mereka melakukannya secara konsisten dan kepada semua pelanggan. Bahkan misalnya, restoran itu memiliki kebijakan tegas tentang penggunaan plastik dan konsisten melakukannya, kita tidak bisa memastikan semua restoran menerapkan kebijakan dan konsistensi yang sama. Sehingga selain sporadis dan tidak konsisten, perubahan individual tidak terjadi dalam skala besar. Itu lah kenapa akan  sulit menyelesaikan masalah sistemik ini dengan perubahan individual.

Perubahan Struktural

Lalu bagaimana mempengaruhi semua individu agar dapat melakukan perubahan secara konsisten dan berskala besar? Menurut Model Sosio-Ekologis, perilaku individu dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai faktor sosial dan lingkungan. Artinya, kita dapat menciptakan perubahan berskala besar bila kita dapat menciptakan lingkungan yang mendorong perubahan individual. Ini disebut dengan menciptakan perubahan struktural. Dan perubahan struktural tersebut adalah tanggung jawab pihak-pihak pengambil kebijakan, seperti industri dan pemerintah.

Pada kasus sendok plastik, perubahan struktural seharusnya dilakukan oleh pihak GoFood dengan mewajibkan opsi “Sertakan Alat Makan” saat konsumen memesan makanan. Sebab, saat ini opsi tersebut belum diwajibkan pihak GoFood pada semua restoran di dalamnya. Perubahan dari GoFood ini akan otomatis mempengaruhi perilaku individu. Pihak konsumen akan mendapatkan alat makan jika memilih opsi tersebut dan pihak restoran akan terbiasa memberikan sendok hanya kepada konsumen yang memesannya.

Dari Sendok Plastik ke Mitigasi Krisis Iklim

Seperti pada kasus sendok plastik yang merusak lingkungan, perubahan individual dalam mitigasi krisis iklim juga tidak memberikan dampak yang berskala besar dan konsisten. Sebab, walaupun kita menghemat listrik dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, namun jika industri bahan bakar fosil tetap beroperasi, maka krisis iklim tetap terjadi. Padahal, jika penyebab krisis iklim tidak segera dihentikan, berbagai dampaknya semakin dekat, seperti Jakarta tenggelam pada 2030.

Beberapa narasi seperti “mengurangi krisis iklim itu bisa dimulai dari kita” justru tidak adil bila ditelisik lebih dalam. Narasi yang menekankan tanggung jawab kepada individu itu justru membebankan penanggulangan krisis iklim kepada rakyat kecil. Pada narasi ini, tanggung jawab rakyat kecil disamakan dengan para pelaku penyebab krisis iklim, yaitu industri bahan bakar fosil. Padahal rakyat kecil lah yang paling sedikit berkontribusi terhadap penyebab krisis iklim dan paling sedikit mendapatkan keuntungan, tetapi ironisnya justru paling berat menghadapi dampak krisis iklim.

Seharusnya, mitigasi krisis iklim dibebankan kepada pelaku penyebab krisis iklim dan yang selama ini menerima keuntungan dari industri bahan bakar fosil. Mereka juga lah yang seharusnya bertanggung jawab atas dampak yang disebabkan industrinya. Disini lah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan, seharusnya membuat perubahan struktural. Misalnya, menghentikan PLTU yang sudah ada dan tidak membangun PLTU baru di mana pun. Bukan hanya itu, melalui kebijakan, pemerintah bisa mendorong bank-bank untuk tidak memberikan pinjaman untuk industri bahan bakar fosil dan segera melakukan transisi energi yang adil ke 100% energi terbarukan. 

Jika pemerintah melakukan perubahan struktural tersebut, maka akan mendorong individu-individu beralih ke energi terbarukan yang lebih adil dan ramah lingkungan.

Individu Tetap Pusat Perubahan Sosial

Walaupun perubahan individu disebut tidak berskala besar, namun individu tetap berada di pusat perubahan sosial. Menurut seorang pemimpin hak-hak sipil Amerika, Benjamin Todd Jealous, “Dalam demokrasi, hanya ada dua jenis kekuasaan: orang terorganisir & uang terorganisir, dan uang terorganisir hanya menang ketika orang tidak terorganisir.”

Perubahan struktural yang diharapkan akan terjadi jika suara kita sebagai individu terorganisir sebagai kesatuan tunggal. Ada banyak langkah besar yang bisa kita lakukan sebagai individu, salah satunya menjadi bagian dari gerakan yang terorganisir dan mendukung kampanye yang fokus pada perubahan struktural. Di Indonesia misalnya, saat ini sudah terbentuk komunitas-komunitas Fossil Free di berbagai kota dan kampus. Mereka secara aktif berkampanye agar muncul perubahan struktural untuk menghentikan penyebab krisis iklim. Seperti komunitas Fossil Free UI dan UGM, yang saat ini sedang mendesak BNI agar segera menghentikan pemberian pinjaman kepada industri batu bara.

Para mahasiswa tersebut memandang bahwa salah satu pihak yang memiliki kekuatan menghentikan industri bahan bakar fosil adalah bank-bank pemberi pinjaman. Jika kita berhasil mendesak bank-bank menghentikan pemberian pinjaman ke industri bahan bakar fosil, maka kita punya harapan menghentikan industri perusak masa depan itu secara lebih sistemik. 

Trending topic “Tanpa Sendok’ di Twitter beberapa waktu yang lalu bisa menjadi momentum bagi terbukanya peran-peran individu untuk mendesak perubahan struktural. Kita dapat menjadi bagian dari individu-individu yang terorganisir mendorong perubahan struktural di sektor lingkungan hidup secara lebih adil. Akhirnya, semua kembali pada diri kita, apakah kita akan menjadi bagian dari individu-individu yang terorganisir tadi?

Laporan IPCC 2021, Belajar dari Sifan Hassan dan Simone Biles

Sifan Hassan, pelari perempuan asal Belanda itu membuat kejutan di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Walaupun sempat terjatuh saat bertanding di semifinal, ia mampu berdiri lalu mengejar semua lawan di depannya, dan menjadi juara pertama! Begitu pula Simone Biles. Pesenam perempuan asal Amerika Serikat yang sebelumnya mengundurkan diri untuk kesehatan mentalnya, kembali ke pertandingan terakhir, dan menang. Sifan dan Simone menunjukkan, di situasi yang tidak memungkinkan sekalipun, jika kita mau maka kita mampu meraih kemenangan.

Berita-berita bersejarah tersebut menutup Olimpiade Tokyo 2020 pada Senin, 8 Agustus 2021 dan menghibur hari-hari PPKM kita. Namun, keluarnya laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di hari yang sama membuatnya menjadi antiklimaks. Bagaimana tidak? Kita ternyata sudah di ujung kehancuran dunia. Tetapi ironisnya, para pemimpin dunia justru memperparah keadaan. 

Sebelumnya, laporan IPCC tahun 2018 telah menggemparkan dunia karena menyebutkan, jika kenaikan suhu bumi mencapai 1,5°C, maka bumi berisiko hancur dan waktu kita untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran hanya sampai tahun 2030. Tahun ini, laporan IPCC 2021 lebih mencemaskan lagi, karena mereka menyebutkan perkiraan dalam laporan IPCC 2018 itu terlalu optimis. Panel yang pernah mendapatkan Nobel Perdamaian tahun 2007 tersebut melaporkan bahwa kita ternyata sudah di ambang melebihi 1,5°C dari perkiraan sebelumnya. Bahkan pandemi yang sempat menurunkan aktivitas manusia itu tidak berdampak besar dalam menurunkan emisi yang menyebabkan pemanasan global. Jadi besar kemungkinan waktu kita untuk menyelamatkan bumi sebelum memasuki kehancuran tak lagi hingga tahun 2030, melainkan lebih cepat.

Sejak revolusi industri tahun 1800-an, manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil yang menyebabkan kenaikan suhu bumi selama seabad meningkat hingga 1,2°C dan sekarang naik hampir 1,5°C. Walaupun kenaikan itu terdengar sangat kecil, namun dampaknya pada kehidupan di bumi sangat besar, seperti terjadinya gelombang panas, musim kemarau berkepanjangan, hingga hujan lebat dan banjir besar. 

Kita juga sudah hampir mencapai sembilan titik kritis yang secara radikal maupun permanen akan mengubah keseimbangan alam. Salah satunya, mencairnya permafrost Siberia (tanah beku abadi) yang menyebabkan adanya kemungkinan lepasnya penyakit-penyakit tua yang telah terperangkap dalam es selama ribuan tahun dan kita tidak memiliki pertahanan terhadapnya. Atau mencapai titik dimana kerusakan sistem sirkulasi Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), yang dapat membuat sebagian besar dunia menjadi sesuatu yang mirip dengan zaman es baru. Semua bencana ini akan memaksa masyarakat dunia bermigrasi secara besar-besaran dan berpotensi menciptakan konflik hingga perang.

Apa solusinya? Menurut para ilmuwan dunia yang didukung oleh masyarakat adat maupun pejuang iklim dunia, satu-satunya cara paling signifikan adalah dengan menghentikan semua pembakaran fosil di dunia dan melakukan transisi menuju 100% energi terbarukan secara adil. Lantas, apa yang sudah dilakukan para pemerintah di dunia?

Berbagai janji-janji sudah mereka katakan. Namun, aksi riil lebih nyaring bunyinya. Presiden Joko Widodo misalnya. Walaupun dalam Perjanjian Paris telah berjanji berkontribusi menurunkan emisi melalui kebijakan, namun nyatanya justru membangun banyak PLTU baru di Indonesia. Atau misalnya Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In, yang bahkan menyatakan bahwa Green New Deal adalah satu-satunya cara mempertahankan hidup, justru bertindak sebaliknya. Ia memang menutup 10 PLTU di negaranya, namun secara bersamaan mendanai PLTU di beberapa negara berkembang seperti PLTU Jawa 9 dan 10 di Indonesia. Begitu pula Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau. Walaupun telah diprotes berbagai pihak di dunia, ia tetap berambisi akan membangun pipa minyak Keystone XL antara Kanada dan Amerika Serikat.

Tindakan-tindakan pemerintah dunia itu adalah cara mereka menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap masa depan kita. Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Sayangnya, kontribusi individu, seperti menghemat listrik dan bensin, tidak signifikan menurunkan emisi, jika industri fosil di dunia masih beroperasi. Namun ada satu cara ampuh yang bisa kita lakukan.

Agar industri fosil berhenti, bank-bank di dunia harus segera menghentikan pendanaan terhadap industri tersebut. Kabar baiknya, sudah banyak bank-bank di dunia yang melakukannya. Namun ironisnya, bank-bank di Indonesia, bahkan milik negara, justru semakin kencang mendanai batu bara. Laporan lembaga Urgewald menunjukkan, sebanyak enam bank di Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. Keenam bank tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.

Tetapi tak seperti industri fosil, bank sangat peduli dengan nasabahnya. Artinya, kita memiliki peluang besar untuk didengarkan. Di sinilah kontribusi terbesar kita sebagai individu untuk menyelamatkan iklim: desak bank-bank, tempat uang kita disimpan, agar segera menghentikan pendanaan pada industri fosil. Pastikan uang kita tidak kita percayakan pada bank-bank perusak alam.

Mungkinkah perjuangan ini berhasil? Seperti pengalaman Sifan dan Simone, apa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Jika memiliki kemauan, maka kita bisa menang. Pertanyaannya, apakah para pemerintah dan bank-bank yang masih mendanai batu bara memiliki kemauan itu?

Dear G20, We Have Our Eyes On You

Dear G20, We Have Our Eyes On You

Article first published on 350.org.

The Group of Twenty (G20) is an international forum intended to discuss policies on economic cooperation and international financial stability. It is attended by government and central bank leaders from 19 individual countries and the European Union. The members are Argentina, Australia, Brazil, Canada, China, France, Germany, India, Indonesia, Italy, Japan, Republic of Korea, Mexico, Russia, Saudi Arabia, South Africa, Turkey, United Kingdom, United States, and the European Union.

These countries self-selected themselves in the group and claimed their power in the global economy since they are accountable for around 80 percent of the Gross World Product, 75 percent of world trade, and two-thirds of the world’s population. However, their legitimacy has been questioned by other countries. Many criticized the G20’s exclusivity – they are not representative of 90 percent of United Nations member states, excluding some of the world’s largest economies such as Norway and Spain–and its lack of transparency and accountability.

Despite the controversies, the G20 is still an influential world forum as it holds power to shape policies and economies for decades. Like it or not, our future is in their hands. Some questions linger: What exactly are they doing? Do they really have anything to offer the world to seriously address the economic crisis, pandemic, and climate crisis?

The answer is: not really. Especially for Asian countries and here are 3 reasons why.

Read More

“If you support the second coal power plant in our village, why don’t you just bomb us now, rather than killing us slowly like in the past 10 years?”

“If you support the second coal power plant in our village, why don’t you just bomb us now,  rather than killing us slowly like in the past 10 years?”

Article first published on 350.org.

“Dear investors and megabanks in Japan, I am asking you with all my respect, please stop funding and supporting the first and second coal power plant in our village. The first coal power plant is already destroying our lives and our future. Why would you support the second one when you know it will make our lives even worse?” asked Domo, a landless farmer from Mekarsari Village, Indramayu, West Java, Indonesia.

Read More

Kejanggalan Kasus Dalton Tanonaka

Kejanggalan Kasus Dalton Tanonaka

Dalton Tanonaka adalah sahabat saya sejak 2013. Tidak semua teman baik saya bisa saya sebut sahabat. Karena hanya sahabat yang saya percaya memiliki nilai-nilai hidup yang sama, bisa saya percaya untuk saling berbagi permasalahan hidup, dan saya percaya akan selalu ada buat saya, no matter what. Dan Dalton adalah salah satunya.

Tapi walaupun ia sahabat saya, jika ia melakukan kesalahan, apalagi merugikan orang lain, saya akan melawannya. Jangankan sahabat, jika yang melakukan kesalahan adalah orang tua saya sendiri, saya tetap akan melawannya. Walaupun saya sangat mencintai mereka.

Jadi tulisan ini tentu saja bukan untuk membela sahabat saya dengan buta. Tulisan ini untuk memberikan sudut pandang yang selama ini tidak dibagikan oleh media. Dimana seharusnya semua media selalu memberikan sudut pandang dari kedua pihak. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Read More

Empat Hal yang Perlu Dilakukan Pemerintah Agar Tidak Tersesat

Empat Hal yang Perlu Dilakukan Pemerintah Agar Tidak Tersesat

Tidak ada negara di dunia ini yang maju tanpa mengedepankan riset sebagai dasar pengambilan kebijakan. Lihat apa yang terjadi saat pemerintah di dunia meragukan himbauan para ilmuwan. Pandemi Covid-19 jadi bukti.

Misalnya, Trump yang menolak memakai masker dan presiden Brazil Bolsonaro yang bahkan mengikuti protes anti-lockdown. Ketidakacuhan mereka itu meragukan rakyatnya, penularan tak terkendali memakan banyak korban, kericuhan juga terjadi.

Pemerintah Indonesia sendiri tidak menganggap enteng bahaya virus tersebut. Namun sayangnya, dalam menangani kasus ini, mereka kurang bijaksana. Berulang kali tersesat dan akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan.

Maksud 'tersesat' berarti ada petunjuk yang tidak diikuti atau malah tidak tahu petunjuk mana yang harus diikuti. Memang dalam konteks penanggulangan Covid-19 sebagai penyakit menular baru, banyak sekali unknowns, bahkan bagi ilmuwan dan pihak-pihak seperti WHO sekali pun. Sehingga sangat dimaklumi bahwa banyak pemimpin yang tersesat karena sedikitnya pemahaman mengenai masalah baru ini.

Namun, walaupun demikian, pemimpin seharusnya menggunakan berbagai cara yang tidak semakin menyesatkan masyarakatnya. Seharusnya, hal-hal dasar yang dapat membantu kita menyelesaikan masalah dipatuhi dan diikuti sesuai ilmu pengetahuan dan metode ilmiah, agar tidak semakin memperumit masalah yang ada. Sayangnya, pemerintah Indonesia berulang kali mengabaikan hal-hal dasar tersebut sehingga kebijakannya tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.

Read More

Women, by nature, will not run away.

Women, by nature, will not run away.

Article first published on 350.org.

Over a decade ago, it surprised me when I met many women who were worried about being women. Growing up in the peaceful city of Yogyakarta in Indonesia, I have never felt that way. I was oblivious to the difference between women and men in general. I did not feel underestimated at work. Neither did I feel the need to convince the world that I was as good as a man. But it turns out that I have been blinded by privilege. I now realize that not all women are raised in an open-minded family that values courage and equality. Not all women have the opportunity to get an education. Many don’t even have the freedom to decide what they want to do in their lives. These are privileges that I took for granted.

Since then, I have worked on various social campaigns and met many inspirational women that did amazing things for their communities. And I realized, many of them do not have the privileges I do. Yet they can be so powerful. So inspirational in making the world better. So how did they do that?

Read More

Saya kira saya paham rasanya jadi perempuan.

Saya kira saya paham rasanya jadi perempuan.

Suatu hari setelah selesai bercerita tentang pelanggaran HAM di Indonesia dan apa saja yang ingin saya lakukan terhadapnya, kencan saya bertanya,

“But since you are a woman, why don’t you fight for woman’s right?”

“Because I don’t want to fight for my self. And I don’t feel there is any differences between women and men in Indonesia. I feel we are the same.”

“Are you sure?”

“Yes, I have the same opportunities and as powerful as men. I also never had any experience in mansplaining at school or work.”

“Well, that’s good.”

Tapi saya salah besar. Seorang teman membuat saya saya sadar selama ini saya kira saya paham rasanya menjadi perempuan, ternyata tidak. Selama ini saya adalah laki-laki di dalam tubuh perempuan. Berpikiran laki-laki, mengira semua baik-baik saja.

Read More

Rp 100 juta itu mereka kembalikan!

PT Bintuni Agro Prima Perkasa awalnya minta izin masyarakat adat di Tambrauw, Papua Barat, untuk membuka lahan kebun di padang rumput. PT BAPP juga memberi uang Rp 100 juta sebagai tali asih. Masyarakat adat tak tau apa itu tali asih, karena curiga mereka simpan uang itu.

Kecurigaan mereka benar, ternyata sekarang PT BAPP beroperasi di hutan adat. Merusak hutan dan habitat hewan sesuka hati. Bahkan dicurigai akan menanam sawit. Masyarakat jadi kehilangan sumber kehidupan, kehilangan ibu. Berkali-kali mereka mengatakan, “Hutan itu ibu kami, mama kami. Ia yang memberi kami makan.”

Saat masyarakat menolak keberadaan PT BAPP, perusahaan menunjukkan dokumen lengkap dengan tanda tangan para warga bahwa mereka setuju pembukaan lahan di hutan. Masyarakat pun bingung dari mana tanda tangan itu.

Masyarakat pun beramai-ramai memalang wilayah PT BAPP agar berhenti beroperasi. Mereka pun mengembalikan uang Rp 100 juta itu ke perusahaan. Kata mereka, uang tak akan bisa membeli masa depan tanah adat.

Hari ini PT BAPP masih beroperasi karena (katanya) mereka memiliki izin yang legal. Maka dari itu masyarakat dari Papua Barat berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mendesak pemerintah (khususnya Presiden dan KLHK) untuk mencabut izin perusahaan yang tidak memiliki persetujuan dari masyarakat adat dan telah merugikan tanah adat.

Masyarakat juga membutuhkan dukungan kita dengan menandatangani petisi ini www.change.org/DemiTanahAdat agar perjuangan mereka lebih kuat.

Perjuangan ini bukan hanya untuk tanah adat Papua, tetapi juga tanah adat di seluruh Indonesia. Agar perusahaan dan koruptor tidak sesuka hati main rampas tanah rakyat.

Rumahnya akan ditenggelamkan

Satu-satunya tempat yang menjadi koridor perpindahan gajah dari Utara ke Selatan di Tampur, Sumatera Utara itu akan hilang. Kemana gajah-gajah itu bisa bermigrasi? Padahal habitat mereka juga terancam rusak dan tergenang karena sebuah mega proyek PLTA yang sebentar lagi akan dibangun. Sudah kehilangan tempat tinggal, berpindah pun tak mungkin.

Padahal mereka bukan makhluk hidup tanpa perasaan. Mereka justru salah satu binatang yang memiliki kasih sayang dan empati yang sangat tinggi. Penelitian menemukan bahwa gajah selalu bisa merasakan jika ada gajah lain yang sedang bersedih, ketakutan, atau butuh pertolongan. Sampai jika ada gajah yang sedang bersedih atau ketakutan, mereka akan bersama-sama mendatanginya, berjalan-jalan melingkarinya, mengibaskan belalainya, dan mengeluarkan suara kasih sayang seakan mengatakan, “I’ll be there for you, cause you’re there for me too.”

Apalagi jika ada anggota kelompoknya mati. Mereka bisa duduk menangis di samping gajah yang tak bernyawa selama berminggu-minggu. Bagaimana perasaan mereka jika habitatnya dirusak dan akhirnya banyak yang mati kelaparan?

Tak hanya rasa empati dan kepedulian tinggi, mereka juga dikenal memiliki daya ingat tinggi. Sebuah penelitian menemukan kawanan yang dipimpin gajah betina tua langsung meninggalkan daerah kekeringan untuk mencari air dan banyak anggota kawanannya selamat. Dari hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa gajah betina tersebut ingat kejadian kekeringan yang pernah terjadi dan tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana paniknya mereka jika tak bisa berpindah ke tempat yang lebih baik?

Di Hari Binatang Sedunia ini kita diingatkan bahwa tidak ada kehidupan yang lebih penting dari yang lain. Kehidupan manusia penting, begitu pula kehidupan makhluk hidup lainnya seperti gajah. Pembangunan untuk kesejahteraan rakyat seperti PLTA itu penting. Namun seharusnya tidak mematikan kehidupan lainnya. Pasti ada jalan lain yang dapat mensejahterakan seluruh kehidupan di bumi ini.

The world is cruel. But you don’t have to be,” kata Temple Grandin. Dunia ini sungguh kejam, tetapi kita tidak harus turut menjadi kejam. Bantu gajah-gajah kita hidup tenang di Tampur dengan minimal menjadi penandatangan dan penyebar petisi di bawah ini.