Sehari Membuntuti Ahok Bekerja, Bertanya Apa Kekurangan Dirinya dan Bagaimana Jika Ia Dibunuh

Pada kesempatan pertama bertemu dengan Ahok untuk makan malam bersamanya, Ahok berjanji membolehkan saya membuntutinya seharian saat ia bekerja dan ia pun menepatinya. Sebenarnya saya hanya meminta seharian membuntutinya, namun ia sempat bertanya, "Mau berapa hari?" Ditanya begitu saya melunjak, "Waaaah kalau bisa berhari-hari saya mau sekali. Tapi mungkin 2 hari saja cukup." Awalnya saya berencana membuntutinya saat bekerja di weekdays dan saat ia mendatangi nikahan warga di Hari Sabtu. Sayangnya, jadwal saya tidak memungkinkan. Sehingga saya tidak pernah bisa membuntuti Ahok mendatangi nikahan warga yang selalu di Hari Sabtu itu. Saya hanya membuntutinya seharian di Balaikota.

Akhirnya Kesempatan Membuntutinya Tiba

Setelah mencocokkan jadwal saya bekerja dan jadwal Ahok, akhirnya kesempatan membuntutinya tiba. Pada Hari Jumat, 16 September 2016 pagi saya ke Balaikota siap menyaksikan Ahok bekerja dengan mata kepala saya sendiri. Saya datang bukan untuk menanyakan kebijakan atau masalah politiknya. Saya datang untuk menyaksikan apa saja yang ia lakukan seharian di Balaikota, bagaimana ia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya saat bekerja, dan menanyakan beberapa hal sederhana.

Ahok dari Ruang ke Ruang, dari Meeting ke Makan, dari Pagi hingga Malam

Mengikuti Ahok bekerja seharian di Balaikota artinya mengikutinya berpindah-pindah dari ruang meeting ke ruang meeting yang lain. Saat saya tiba, Ahok sedang di mejanya menandatangi berbagai dokumen dibantu oleh ajudannya, Mas Pri. 

Selesai menandatangani dokumen, ia bergegas ke ruang meeting di bagian belakang ruang tamu untuk menemui murid-murid dari sekolah Australian Independent School. Sudah ada beberapa guru dan murid-murid duduk di depan meja oval. Ahok pun ikut duduk. Untuk menyambut kedatangan Ahok, sang kepala sekolah mengatakan anak-anak ini ingin bertemu Ahok karena kata para murid, "He's the best governor ever." Setelah satu-satu memperkenalkan namanya, mereka menanyakan beberapa macam hal dan Ahok menjawabnya. Dalam menjawab sebuah pertanyaan, Ahok sempat mengatakan, "Brain is otak, you know? And muscle is otot. To be a governor of Jakarta you don't need a good otak but a good otot." Seruangan tertawa.

Ia menambahkan, "Because everything you already know! Everything! We have staff from the best universities. We know everything. The problem is, you have the courage to execute it or not? Because you will be disturbed by the interest from the poorest to the richest."

Selesai bertemu mereka, Ahok keluar ruangan menuju ke aula. Setiap ia keluar dari suatu ruangan ke ruangan lainnya, ada belasan orang menunggunya lalu berebut mengajak berfoto bersamanya. Ahok melayani mereka semua.

Setelah melayani permintaan foto, ia berjalan cepat memasuki aula. Ia sudah ditunggu ratusan siswa berprestasi se-DKI Jakarta berserta guru dan orang tua. Mereka disana untuk diberi selamat dan berfoto bersama Ahok. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan saat ia tiba di pintu utama aula. Ia disambut dengan begitu meriah. Saya yang berjalan di belakangnya merinding. 

Dalam perjalanannya menuju panggung, Ahok kembali diserbu kerumunan orang yang mengajaknya berselfie. Sampai di atas panggung, ia memberi sambutan dan berfoto bersama dengan seluruh siswa berprestasi dari setiap sekolah.

Setelah selesai, ia turun dari panggung menuju ke luar aula. Lagi-lagi perjalanannya terhambat oleh ibu-ibu yang ingin berselfie dengannya dan menghabiskan waktu 15 - 30 menit waktunya. Di tengah perjalanan keluar, Ahok tiba-tiba menundukkan badannya dan berbicara dengan seorang anak perempuan berhijab. Setelah mereka tersenyum, ia pun merangkul anak itu dan melihat ke arah kamera orang tua si anak. Menurut pandangan saya, senyum Ahok yang paling sumringah adalah saat ia bertemu anak kecil.

Setelah terbebas dari ajakan berselfie, Ahok memasuki ruang tamu. Ia sudah ditunggu seorang polisi. Setelah mereka bersalaman, masuk ruangan, lalu pintu ditutup. Saya sudah percaya diri mau ikut masuk ke ruangan meeting namun ternyata pintu ditutup di depan muka saya. Rasanya memalukan sekali hahaha.

Daripada kelamaan malu, saya langsung berbalik badan, bergegas menuju tempat duduk di depan ruang meeting dan mengobrol dengan petugas keamanan. Tetapi tIba-tiba saya mendapat pesan di WhatsApp dari asisten Ahok, "Mbak Dian jangan di luar. Kata Bapak, Mbak Dian masuk aja." Waaaa... Ternyata Ahok tidak melupakan saya!

Selesai bertemu dengan seorang polisi, Ahok pun keluar lalu kembali ke ruangannya, duduk, dan menandatangani beberapa dokumen lagi. Sesekali stafnya bergantian menghampirinya untuk membahas sesuatu. Sering kali ia juga bergurau dengan mereka.

Di saat itu pula, ada seorang bapak pegawai pemprov DKI masuk ke ruangannya untuk memberikan undangan pernikahan. Ahok membaca undangan dan bertanya apakah bapak itu yang mau menikah? Sambil tertawa bapak itu menyakinkan bahwa anaknya yang mau menikah, bukan dirinya. Ahok tertawa jahil menanggapi jawabannya. Ahok dan bapak itu pun berfoto bersama. 

Setelah itu Ahok mengajak staffnya dan saya untuk makan siang bersama. Di belakang mejanya ada ruang makan kecil berisi meja makan, kulkas, dan lauk pauk yang sudah siap tersaji. Saya dibuat kenyang sekali siang itu. Sambil makan, kami membahas nama-nama selebriti dan gosipnya. Selesai makan, Ahok bertanya kepada saya, "Dian, suka es krim?" Itu pertanyaan sungguh pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tentu saja saya suka es krim! Ia pun berdiri, membuka kulkas dan bertanya lagi, "Dian sukanya rasa apa?" Kemudian ia mengambilkan es krim rasa strawberry sesuai keinginan saya. Belum selesai saya menghabiskan es krim, ia pun menawarkan durian dari Medan! 

Selesai makan siang, kami menuju ke ruang meeting belakang. Jadwal berikutnya ia bertemu dengan perwakilan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dalam rapat itu, Ahok membahas mengenai sengketa tanah, pembebasan lahan negara, perluasan lahan, pembangunan jalan, penyiraman taman yang efisien, pembuatan waduk, deal dengan perusahan-perusahaan, peraturan gubernur, pengurusan sertifikat atas permintaan masyarakat, rencana scan dan upload segala dokumen agar pengembang tidak perlu menyogok orang dalam lagi, dan membahas berbagai masalah lainnya. Tentu saja saya tidak memahami detail percakapan mereka karena terlalu teknis. Namun yang menarik, dalam rapat itu mereka juga membahas usaha pemerintah DKI agar mendapatkan dana dari pihak swasta untuk mendanai infrastruktur daerah. Ahok mengatakan,  "Sebisa mungkin pemerintah provinsi DKI tidak mengeluarkan dana sepeserpun untuk infrastruktur agar dananya dapat digunakan untuk subsidi transportasi, perumahan, pendidikan, dan kesehatan." Saya sempat merekamnya melalui Facebook live. 

Selesai bertemu dengan BKPRD, Ahok bergegas ke ruang tamu. Ia sudah ditunggu oleh seorang sejarawan dari Belanda. Sejarawan itu telah selesai membuat buku berisi foto-foto Jakarta masa lalu dan ingin memberikan langsung ke Ahok dan pemprov DKI. Ahok meminta tanda tangan si sejarawan di bukunya dan si sejarawan meminta berfoto bersama Ahok.

Setelah itu ada satu meeting yang harus saya lewatkan karena suatu hal. Namun selesai meeting tersebut, saya mengikuti Ahok kembali ke ruang tamu. Ia menemui perwakilan dari Bulog. Mereka membahas mengenai pangan, gula, daging, dan harga-harganya. Lagi-lagi pembicaraan mereka sangat teknis. Saya berfikir, di dalam kepalanya Ahok itu memori dan processornya seberapa besar ya? Kok ia bisa mengingat dan bahkan sangat memahami semua detailnya?

Sekitar pukul 18.00 WIB, selesai sudah seluruh jadwal meetingnya. Hari sudah gelap, ia pun mengajak saya ke ruang makan kecilnya untuk makan malam. Saya dibuat kekenyangan lagi dan disuguh durian lagi. Kali ini pemberian kerabatnya dari Singapura. Enak sekali! Sambil makan, kami kembali membahas selebriti Indonesia, siapa yang paling cantik dan paling ganteng.

Ahok Menjawab Pertanyaan Saya

Selesai makan, saya meminta izin untuk mewawancarainya dan merekamnya. Ia berkenan. Setelah menghidupkan recorder, saya bertanya,

"Tadi saya lihat banyak banget ya Pak yang pengen foto sama Bapak. Apa nggak capek?"

"Kalo kamu melayani orang dengan senang hati, mesti nggak capek. Pekerjaan pemerintah ini nggak bisa pura-pura. Kalau kamu pura-pura, kamu burn out, nggak tahan. Saya sudah terbiasa seperti ini belasan tahun."

"Lalu kenapa Bapak senang melayani orang?"

"Karena saya memutuskan masuk politik kan untuk melayani orang. Karena pekerjaan ini untuk melayani banyak orang."

"Itu tujuannya, tapi kenapa Bapak ingin melayani orang? Kenapa senang melakukannya?"

"Dari kecil, dibentuk dari Bapak, kalau mau menolong orang, ya harus melayani orang. Tadinya saya tidak membuka seperti itu."

"Membuka apa?"

"Membuka setiap pagi begitu (masyarakat diperbolehkan masuk ke teras Balaikota untuk mengeluhkan masalahnya atau sekedar berfoto). Masalahnya kita mau masuk kerja, ada orang sudah nungguin di depan, masak saya kabur lewat belakang menghindari orang? Kasihan dong orang sudah nunggu? Orang berdiriiiiiii nungguin gitu. Kasihan kan? Makanya saya belikan empat set kursi itu hehehe. Untuk mereka menunggu. Kita dengerin atau lewat sms. Orang mau ketemu, mau foto, ya sudah."

"Tapi dulu kan (Balaikota) ditutup?"

"Iya dulu nggak boleh injek. Hahaha."

"Kok Bapak malah bolehin sampai masuk teras?"

"Saya kira saya kan pegawai, ini rumah rakyat. Kita pegawai ya harus kasih lah. Kayak ini, surat semua yang masuk, saya mau baca semua. Saya harus ngerti. Mau surat tembusan saya juga mau tau. Duduk disini membaca ini semua laporan, jadi mengerti."

"Ada nggak yang menjengkelkan?"

"Pasti ada, gua semprot aja kalau kurang ajar begitu."

"Hahaha! Saya selalu khawatir ada yang mau menembak mati Bapak gitu. Kan gampang sekali itu, Pak? Bapak nggak takut?"

"Mati kan di tangan Tuhan? Kalau kamu memang harusnya mati muda mau bilang apa? Memang kamu takut bisa membuat tidak jadi mati? Kalau kekhawatiran bisa membuat saya jadi panjang umur, saya mau khawatir. Tapi kan enggak? Jadi buat apa takut?"

"Tapi sebenarnya kekhawatiran itu ada kan?"

"Kalau kekhawatiran itu ada, stress dong, sakit dong saya?"

"Sedikit pun tidak ada?"

"Kenapa saya bisa hidup enak? Tidur enak? Karena saya pasrah."

"Tapi padahal kemungkinan itu ada kan, Pak?"

"Ya kalau memang Tuhan memutuskan saya harus mati, ya saya mati. Ngapain dipikirin? Yang kita pikirin masuk surga atau tidak itu."

"Tapi paling tidak bisa lebih hati-hati?"

"Ya pasti harus hati-hati, nggak sembarangan juga. Makanya kalau ada yang ngajak duel, ya nggak diladenin. Ngapain? Saya bukan tukang pukul. Kalau sama-sama gubernur, baru boleh hehehe."

"Oh hehehe. Trus Bapak kangen nggak sama kehidupan biasa, misal ke supermarket gitu?"

"Sudah saya matikan. Nggak ada lagi. Dahulu saya paling suka belanja di supermarket, jalan. Sekarang saya sudah nggak ada keinginan itu lagi. Kalau punya keinginan, harus segera dilupakan saja. Kita harus terima nasib kita harus kayak gitu. Karena suka kita melayani lebih besar daripada keinginan itu."

"Wahhh... Ada nggak sih yang kurang dari Bapak selama ini?

"Ya banyak lah."

"Apa kelemahan Bapak menurut Bapak sendiri?"

"Saya itu tidak bisa bersandiwara aja."

"Lho malah bagus kan, Pak? Bukan kah itu genuine? Sebuah kelebihan?"

"Tapi kan untuk di dalam politik itu kekurangan? Misal kamu mau layanin orang tapi orang ngeyel, marah dong. Marah mengurangi simpati orang. Tapi saya nggak peduli."

Iya, kadang kita harus palsu atau punya poker face agar orang lain suka dengan kita. Atau paling tidak, tidak menimbulkan drama. Tidak bisa bersandiwara atau genuine itu bisa menjadi sebuah kelemahan karena orang lain jadi mudah menebak kita sedang marah atau biasa saja, bahagia atau sedih, jatuh cinta atau jijik, santun atau preman, dan lain-lain.

Tapi tetap bagi saya, genuinity adalah suatu kelebihan. Karena kita jadi tau saat dia melakukan sesuatu karena terpaksa atau memang tulus. Dan itu yang harus kita perhatikan dalam memilih seorang pemimpin. 

Di akhir wawancara, saya bertanya, "Apa keinginan pribadi Bapak?"

"Saya pribadi hanya ingin ada keadilan sosial. Orang mendapatkan haknya. Secara pribadi saya tidak bisa membantu banyak orang. Makanya lewat menjadi pemerintah bisa membantu banyak. Seperti keadilan sosial, bantuan sosial. Orang sakit, ada BPJS, ya pergi berobat. Sekolah pun begitu. Itulah keadilan sosial."

Majikan yang Beruntung

Selesai makan dan wawancara, kami menuju ke ruang kerjanya untuk berfoto di kursi panasnya. Saya duduk dan Ahok berdiri di belakang saya. Selesai berfoto, kami bersalaman dan kemudian Ahok bergegas keluar untuk pulang ke rumahnya. Sebelum keluar ruangan, ia melambaikan tangannya ke saya.

Hari itu sebelum saya tidur, ada yang mengirimi saya pesan dan bertanya bagaimana rasanya seharian bersama Ahok dan duduk di kursi panasnya? Saya jawab, "Rasanya luar biasa bangganya. Indonesia memiliki pelayan-pelayan yang setia dan selalu berusaha melayani majikannya dengan sebaik-baiknya. Kita adalah majikan-majikan yang beruntung. Majikan-majikan yang memang seharusnya dilayani dan selalu bisa mengkritik kinerja pelayannya tanpa rasa takut. I will never take it for granted."

PS: Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Ima, Mas Sakti, Mas Pri, dan seluruh staff yang telah membantu saya membuntuti Ahok hari itu.

Jangan Unfriend Teman Facebook

Unfriend atau unfollow teman yang punya perbedaan pandangan politik itu bisa membuat kita sama dengan para ekstrimis, tidak open minded.

Jadi jangan di-unfriend, jangan di-unfollow. Baca dan dipahami, apakah pendapat mereka benar sehingga kita jadi belajar pandangan baru, tidak benar tapi penting untuk ditanggapi, atau ngaco dan biarkan saja lewat? Kita jadi belajar tenang dan open minded.

Open minded tidak selalu terbuka pada hal-hal modern dan liberal. Open minded terbuka pada segala hal, termasuk pemikiran ekstrimis sekalipun. Mari bareng-bareng belajar open minded!

Tidak Perlu Block Mereka

Orang-orang ekstrimis di Twitter itu setiap hari berusaha membuatku marah dengan berulang kali mengatakan, "Dian kan Kristen" atau "Dian kan bukan muslim." Bahkan ada yang sempet-sempetnya komen di setiap postingan blogku dengan kalimat yang sama, "Mbak Dian Paramita ini Kristen lho, tapi kok seperti pura-pura Islam ya, kenapa?" Dikira aku akan marah dan membela diri. Dikira aku akan tweet balik berusaha meyakinkan mereka kalo aku muslim dan mereka memfitnah. Dikira mereka worth it untuk diyakinkan. Jangankan menanggapi, meluangkan waktu untuk blockakun mereka saja aku tidak punya. Mending melamun sambil mengelus-elus kucingku. Lagipula memang kenapa kalau pun saya bukan muslim? 

Kadang ada orang-orang yang saking tidak suka dengan pendapat kita, mereka ingin menghajar kita lewat jalur pribadi. Membuat kita marah dan membuat kita jadi tampak tolol. Kita jadi lupa bahwa awalnya kita hanya berbeda pendapat, bukan berbeda urusan pribadi. Dan salah satu cara agar terlatih bertemu orang seperti itu adalah dengan tidak memblock siapapun dan membaca semua pendapat atau cacian. Kita jadi terlatih memilih mana yang perlu diperhatikan dan mana yang harus dilewati tanpa emosi.

Makan Malam dengan Ahok

Atas inisiatif bersama, beberapa teman-teman sosial media meminta waktu kepada Ahok untuk bertemu dan berbincang. Saya pun diajak untuk ikut serta. Saya gembira sekali. Kesempatan bertemu pemimpin pemerintah dan dapat mengobrol dengan lebih dekat adalah hal yang sangat berharga di dunia ini. Apalagi sejauh ini menurut pandangan saya Ahok adalah salah satu pemimpin yang terbaik di Indonesia. Bukan sempurna, tetapi terbaik. Ia dapat menunjukkan proses dan hasil kerja. Ia pun independen bukan dari partai politik manapun.

Kami Terlambat

Kami dijadwalkan untuk hadir di rumah pribadi Ahok di Jakarta Utara pada Hari Jumat, 8 April pukul 18.00. Saya bersama Mbak Renny Fernandez berangkat dari Jakarta Selatan pukul 17.00. Tetapi karena macet, maka sampai sana pun kami terlambat hingga pukul 18.40. Sebelum masuk ke komplek perumahannya, satpam komplek menanyakan maksud kehadiran kami. Kamipun diperbolehkan masuk komplek setelah menyebutkan nama.

Kami sedikit kesulitan mencari rumah Ahok karena tidak ada yang berbeda dengan rumah lainnya. Sampai akhirnya kami menemukan dan bertemu dengan salah satu asisten Ahok bernama Mbak Ima yang sedang berada di depan rumah. Kami diantarkan ke ruang makan Ahok dan akhirnya kami pun bertemu dengannya. Ia sedang duduk membelakangi pintu sambil bercerita namun kemudian berhenti saat kami datang. Ia memutarkan badannya untuk menyalami kami berdua. Sebelum kami meminta maaf karena telat dikarenakan macet, Ahok berkata, "telat karena macet ya? Kalo karena macet berarti salah saya."

Kwetiau Seafood, Martabak, Pempek, Anjing, dan Beer

Kami pun dipersilahkan duduk dan disodori sebungkus kwetiau goreng seafood yang luar biasa lezatnya. Belum selesai menyelesaikan kwetiau tersebut, di tengah bercerita Ahok mengatakan ia sedang memesan martabak yang enak sekali. Benar, memang enak bukan main. Martabak keju dan asin. Kemudian tiba-tiba datang juga Pempek Susan. Astaga!

Hiburan malam itu tidak hanya makanannya, tetapi juga anjing berbaju pink peliharaan Ahok yang bernama Cookie. Ia lari masuk saat pintu ruang makan terbuka. Langsung SKSD dengan para tamu. Saya pun menggendongnya dan selama berjam-jam dia lengket di pangkuan saya.

Selain ada anjing, ada juga beer. Beberapa tamu minum beer. Tentu saja para tamu tidak mabuk. Apalagi mabuk-mabukan seperti orang gila. Mungkin kami bisa mabuk jika meminum puluhan kaleng beer. Namun orang bodoh mana yang tidak bisa mengontrol minumannya hingga mabuk padahal sedang bertemu orang penting? Saya rasa tidak ada orang sebodoh itu.

Ahok sendiri minum susu. No kidding. Tapi apakah ini penting? Kita lebih sibuk memikirkan apa yang ia minum daripada apa yang ia lakukan terhadap sesama dan makhluk lain ciptaan Tuhan?

Ahok Malam Itu

Sebelum ke pertemuan itu, saya sudah dengar gosip kalo Ahok itu suka bercerita. Ternyata benar. Ceritanya banyak sekali. Mayoritas bikin keki karena menyangkut ketidakadilan dan kerugian negara yang dilakukan oknum. Tetapi ceritanya lucu. Ia menceritakan dengan nada suara dan gerak-gerik yang komikal. Sampai kadang ia lupa meneruskan makannya. Beberapa kali ia mempersilahkan asistennya untuk membantu menceritakan suatu issue agar dia bisa berhenti dulu untuk melahap kwetiaunya.

Ahok juga tak terduga. Makan malam saat itu bersifat santai, kami bisa berjalan-jalan mengambil makanan, pindah tempat duduk, bermain dengan anjingnya, dan bolak-balik ke kamar mandi. Suatu ketika ada tamu sedang berdiri di depan kamar mandi untuk mengantri. Di tengah bercerita, Ahok sempat-sempatnya berhenti bercerita dan mempersilahkan tamunya untuk menggunakan kamar mandi di kamarnya. Bagi saya ini lucu mengingat bagaimana antusiasnya dia bercerita namun masih bisa aware ada tamunya yang kebelet.

Cerita-Cerita Ahok

Seingat saya, saat saya datang Ahok sedang tengah bercerita mengenai reklamasi Jakarta. Saya juga ingat ia bercerita mengenai lahan-lahan hijau yang digunakan bangunan komersil, mengenai bagaimana orang-orang berusaha "mengadali" pemerintah, mengenai peraturan pemerintah, dan lain-lain. 

Sayangnya saya duduk di ujung meja yang jauh dari tempat duduk Ahok. Sejujurnya saya sangat kesulitan mengikuti perbincangan dengan Ahok malam itu karena saya memiliki masalah pendengaran apalagi jika tidak bisa melihat dengan jelas gerakan bibirnya. Saya juga merasa belum memiliki pengetahuan penuh mengenai masalah-masalah ini, sehingga saya tidak berani menuliskannya dan berkomentar disini.

Di kesempatan itu para tamu juga banyak yang menanyakan dan mengeluhkan beberapa hal. Pertanyaan-pertanyaan dijawab Ahok dengan panjang lebar dan keluhan langsung dia catat. Bahkan janjinya akan segera menindaklanjuti oknum (yang tidak dapat disebutkan) itu. Jika terbukti salah, akan ia pecat. Ia sempat berkata, "tidak ada yang tidak mungkin."

Trotoar dan Kucing Liar

Hampir 6 jam nonstop kami dan Ahok berbincang malam itu. Pertemuan hampir saja disudahi padahal saya belum sempat bertanya. Saya pun langsung mengangkat tangan, "tapi Pak saya mau nanya. Jika tidak ada yang tidak mungkin, apakah bisa seluruh jalanan di Jakarta ini memiliki trotoar?"

Ia mengatakan ia sudah merencanakan pembuatan trotoar dan katanya akan memakan waktu 5 tahun. Lalu saya tanyakan bagaimana dengan jalanan kecil yang sepertinya tidak mungkin lagi untuk diberi trotoar? Apakah harus mengambil tanah warga? Ia mengatakan beberapa titik memang tidak mungkin tetapi ia juga sedang mengusahakan trotoar gantung. I can not wait for that.

Selanjutnya saya juga menanyakan bagaimana dengan anjing dan kucing liar di Jakarta? Apa yang bisa Pemerintah Provinsi Jakarta lakukan? Ia katakan ia akan mensteril semuanya agar menekan angka populasi. Lalu setiap anjing dan kucing yang sudah disteril akan diberi chip agar bisa didata. Saya sendiri puas atas jawaban itu. Walau belum sampai pada solusi pembuatan shelter untuk menampung anjing dan kucing liar, paling tidak ia sudah memikirkan bagaimana menekan angka populasinya melalui cara sterilisasi.

Foto Bareng dan Menodongnya

Usai berbincang, tentu saja kami berfoto bersama. Saat saya mendapat giliran foto, saya menodongnya, "Pak, apakah saya boleh mengikuti bapak seharian bekerja lalu saya tulis di blog?" Karena saya terlalu pendek untuknya, ia harus menunduk dan meminta saya mengulang pertanyaan saya. Saat saya tanyakan kembali, dia pun setuju dan justru langsung memikirkan hari apa yang enak buat saya. Karena tidak enak banyak yang mengantri foto, maka ia langsung memanggilkan asistennya untuk membuatkan jadwal untuk saya.

Tadinya saya meminta sehari bersama Ahok tetapi malah ditawari dua hari. Saat weekday dia di kantor dan saat weekend menghadiri nikahan warga. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu kembali dan melhat sendiri Ahok saat bekerja dan menghadiri nikahan warga.

Latar Belakang Mendukung

Saya selalu berusaha memahami jika orang lain mendukung calon pemimpin yang berbeda dengan saya. Saya berusaha masuk dalam pikirannya. Mengapa mereka mendukung calon tertentu? Saya sendiri menentukan pilihan berdasarkan kualitasnya. Seperti kualitas ideologinya, visi-misinya, rencana kerjanya, hingga rekam jejaknya. Karena saya sendiri demikian, maka saya berfikir orang lain pun juga demikian dalam menentukan pilihannya.

Namun sekarang rakyat sipil yang mendukung seorang calon pemimpin seakan melakukan tindakan kriminal. Datang ke rumahnya untuk makan malam dan berbincang pun dicurigai. Padahal sejatinya, apa salahnya para pendukung datang ke rumah calon pemimpin dukungannya? Apakah melanggar aturan jika rakyat sipil menyatakan dukungannya?

Makin deras tuduhan saya mendapat bayaran. Dituduh memiliki agenda tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompok sendiri. Padahal saya datang karena memang sudah mendukungnya, bukan datang untuk diberi arahan dan dibayar lalu baru mendukungnya. 

Sejak 2010 susah payah saya menolak beberapa tawaran buzzing dari brand maupun pemerintah yang hendak membeli opini saya, Membohongi publik bahwa suatu brand minuman tertentu lebih baik dari kompetitornya saja saya tolak. Apalagi membohongi publik mengenai pandangan politik saya. Berapapun bayarannya, mau tidak mau harus saya tolak. Tentu saja bukan karena kaya tetapi karena tidak sampai hati. Masak publik yang selama ini percaya kepada saya lalu saya bohongi? Saya tidak tega sehingga beberapa kali saya harus menolak tawaran besar itu sambil menelan ludah. Saya beruntung, berkat dukungan keluarga, saya masih bisa mempertahankan idealisme. Walaupun begitu, tetap saja ada yang dengan entengnya memfitnah saya dibayar.

Kemudian saya menyadari, jika mereka bisa-bisanya berfikir orang lain bisa diarahkan opininya, mendukung calon pemimpin karena faktor uang dan kepentingan pribadinya, maka kemungkinan besar karena mereka sendiri demikian. 

Salam,

Dian

Rakyat Mampu = Berkorupsi?

Dahulu saat saya sering melakukan aksi sosial, banyak yang mengeluh kepada saya. Mereka mengeluhkan mengenai diri mereka sendiri yang saat itu tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan aksi sosial seperti saya. Mereka merasa malu, tapi di sisi lain mereka memang tidak mampu memberikan apapun. Bahkan tenaga dan waktu sekalipun. Karena mereka sudah disibukkan dengan jadwal pekerjaan.

Saya katakan kepada mereka, tidak perlu membuat aksi sosial atau terlibat di dalam salah satunya jika kita memang tidak memiliki waktu, tenaga, atau dana yang cukup. Menjadi warga yang baik dan adil terhadap orang maupun makhluk lain sudah lebih dari cukup dalam melakukan aksi sosial.

Tidak Mengambil Hak Orang Lain

Tidak mengambil hak orang lain terdengar mudah dilakukan dan sebenarnya memang mudah dilakukan. Jika saya bertanya kepada Anda, “apakah Anda mau mengambil hak orang lain?” Seseorang yang dilahirkan dari keluarga yang adil dan bermartabat pasti akan menjawabnya dengan mengernyitkan dahi, “Ha! Ya enggaklah!”

Kita, warga yang berkecupukan, berpendidikan, dan bermartabat, pasti tidak akan mengambil barang milik orang lain. Kita tidak mungkin berniat jahat melihat sendal bagus di depan masjid, melihat rumah tidak terkunci, melihat dompet terjatuh, dan lain sebagainya. Karena sekali lagi, kita tidak mungkin mengambil hak orang lain. Kita tidak mungkin mencuri kekayaan orang lain yang jelas bukan milik kita. Kalaupun jika Anda melakukannya, pasti Anda memiliki gangguan jiwa seperti kleptomania.

Namun masalahnya, mengambil hak orang lain tidak melulu berarti “mengambil” secara harfiah. Tidak melulu ada barang milik orang lain lalu kita curi. Mengambil hak orang lain juga dapat berupa menggunakan trotoar untuk berjualan, menghentikan lalu lintas agar geng motor gedenya lewat duluan, atau yang masing sering terjadi, menggunakan produk-produk subsidi dari pemerintah.

 Subsidi Pemerintah

Guna subsidi pemerintah tentu saja untuk membantu rakyat miskin agar dapat hidup layak. Paling tidak kebutuhan sandang, pangan, maupun papannya tercukupi. Jika tiga pokok kebutuhan rakyat miskin ini tercukupi, maka hidup mereka menjadi layak. Jika hidup mereka menjadi layak, maka kualitas hidupnya pun menjadi meningkat. Mereka menjadi sejahtera. Apa hasil dari kesejahteraan mereka itu? Kehidupan mereka menjadi hampir sama dengan kita, para rakyat menengah ke atas. Jika kesejahteraan si miskin dan si kaya tidak banyak berbeda, maka gap kesejahteraan semakin menipis. Pada akhirnya hampir seluruh lapisan masyarakat akan seperti kita semua, berkecukupan, berpendidikan, dan bermartabat. Tentu saja ini berefek pada kehidupan masyarakat yang lebih aman, nyaman, dan seimbang. Bukankah itu menyenangkan bagi kita semua?

Namun sayang, banyak rakyat menengah ke atas yang sebenarnya memiliki nilai-nilai “tidak akan mencuri milik orang lain”, menggunakan barang-barang subsidi dari pemerintah. Dengan kata lain, mereka mengambil barang milik rakyat miskin, mengambil hak orang lain. Tanpa sadar mereka telah menjadi pencuri, menjadi koruptor kecil. Menggunakan uang negara untuk sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Kita pusing memikirkan bagaimana menyumbang jutaan rupiah, meluangkan waktu, atau mengorbankan tenaga untuk membantu aksi sosial, namun justru melupakan sesuatu di depan mata kita. Yaitu tidak menggunakan barang-barang milik rakyat miskin.

Subsidi Gas

Salah satu subsidi pemerintah yang mungkin tidak banyak masyarakat tahu adalah gas LPG 3 Kg. Gas LPG 3 Kg diperuntukan kalangan miskin, bukan kita, si kalangan menengah ke atas. Kita tidak perlu saling menunjuk siapa yang merasa miskin atau kaya. Jika kita memiliki hati kecil, kita tahu apakah kita layak mengkonsumsi gas LPG 3 Kg atau tidak.

Jika kita merasa tidak layak menggunakan gas subsidi, maka seharusnya kita menggunakan gas LPG 12 Kg. Namun menurut Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina, Ahmad Bambang, saat ini 20% pengguna gas LPG 12 Kg nonsubsidi berpindah konsumsi ke gas LPG 3 Kg bersubsidi. Memalukan.

Perilaku seperti ini mengancam subsidi, mengancam rakyat miskin. Selain di pasar mereka harus berebut produk dengan rakyat mampu, dana subsidi pemerintah pun semakin terbebani karena konsumsi gas LPG 3 Kg yang terus meningkat. Sebab rakyat mampu turut menggunakannya. Jika ini terus terjadi, mimpi mensejahterakan dan meningkatkan seluruh kehidupan masyakat akan tidak pernah terjadi.

Masalah Masyarakat dan Solusi Pemerintah

Banyaknya masyarakat mampu menggunakan gas LPG 3 Kg sebenarnya beralasan. Pertama, mereka mengeluhkan bahwa gas LPG 12 Kg terlalu berat. Namun PT Pertamina memberikan solusi dengan mengeluarkan varian produk gas nonsubsidi Bright Gas dengan kemasan 5,5 Kg. Varian gas ini memiliki kelebihan teknologi baru untuk mencegah kebocoran, antara lain Double Spindle Valve System dan Optical Color Switch.

Kedua, mereka mengeluhkan produk gas nonsubsidi tidak mudah didapatkan. Namun nantinya produk Bright Gas 5,5 Kg dapat dipesan melalui Pertamina Contact Center 500000. Kita tidak perlu lagi mengambil hak rakyat miskin yang disebabkan kekurangan gas nonsubsidi.

Berbuat Sosial

Berbuat sosial itu tidak selalu menyumbangkan uang saat ekonomi kita belum stabil, atau meluangkan waktu saat seharusnya bekerja mencari nafkat, atau mengorbankan tenaga saat sebenarnya kita tidak mampu. Kita tidak perlu melakukan ketiga hal tersebut untuk menganggap diri sendiri telah berbuat sosial.

Berbuat sosial dapat dilakukan dengan hal sepele namun tetap membanggakan diri sendiri, yaitu tidak menggunakan barang-barang milik rakyat miskin yang disubsidi dari pemerintah. Hal yang sangat sederhana di depan mata kita, namun berdampak luar biasa terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. You should be proud of yourself if you did this already.

Apa yang Dilakukan Jonan Sudah Benar

 

Soal Jonan melarang ojek atau taksi online beroperasi itu sudah benar.

Pada dasarnya semua kegiatan masyarakat itu harus ditata oleh pemerintah. Karena mau ditata, maka setiap kegiatan harus dibedakan. Misalnya sebuah komplek mau dipakai perumahan, pertokoan, atau pabrik? Semua kegiatan/kebutuhan masyarakat yang satu ada dampaknya ke masyarakat yang lain. Disini peran pemerintah untuk menjadi penengah. Mengatur sedemikian rupa agar semua kegiatan di masyarakat seimbang. Meminimalisasi adanya kemungkinan saling merugikan. Kalo tidak diurusi pemerintah, mala semua orang akan asal membangun dan berkegiatan sesukanya. Seperti yang sudah terjadi di Indonesia. Tidak beraturan. Ada perkebunan bersebelahan dengan pabrik. Ada sekolah dasar bersebelahan dengan diskotik. Ada hotel di tengah perumahan. Ini seharusnya diatur. Sehingga setiap kegiatan atau kebutuhan dibedakan lalu diletakkan di wilayah yang sesuai.

Sama seperti kendaraan. Sebuah kendaraan akan dipakai untuk pribadi atau usaha? Karena jika usaha akan ada banyak hal yang harus diperhatikan pemerintah. Mulai kondisi mesin yang lebih sering dipakai daripada mesin kendaraan pribadi, hingga masalah tenaga kerjanya. Taksi biasa sudah harus bayar mahal untuk ijin usaha, lalu STNK kendaraannya pun berbeda. Mereka diperlakukan berbeda. Karena mereka menggunakan kendaraannya untuk usaha, untuk mencari duit. Sering berseliweran di jalanan untuk tujuan yang berbeda dari kendaraan pribadi. Lalu tiba-tiba ada taksi dan ojek menggunakan kendaraan pribadi mau mengambil konsumen mereka. Padahal tanpa ijin dan pastinya tanpa modal tinggi. Mereka juga tak berkewajiban melaporkan masalah usaha atau tenaga kerjanya. Karena toh mereka tidak memiliki ijin usaha karena kendaraan mereka pribadi kan? Apakah itu adil? Apakah kita akan terima dengan hal ini jika kita memiliki usaha taksi yang resmi? Pasti tidak. Pasti iri.

Ini akan menimbulkan masalah baru. Karena semakin banyak orang akan memakai kendaraan pribadinya untuk usaha, lalu yang resmi gulung tikar. Nanti saat sudah terlalu kacau dan akan ditertibkan, semua akan saling tuding, "lha itu dari dulu curang kok boleh? Aku juga boleh dong!" Aku yakin akan ada yang bilang, "yaudah biarin aja masyarakat berjalan sendiri. Kita tidak butuh pemerintah!" Padahal jika praktek asal-asalan seperti ini dibiarkan, akan menyebabkan yang kuat dan mayoritas selalu menekan yang lemah dan minoritas. Entah apakah itu di pihak pengusaha atau konsumennya. Suatu hari akan ada kegaduhan lagi dan akhirnya dibutuhkan pemimpin untuk menjadi penengah dan penyeimbang. Pemimpin butuh tim untuk membantu kerjanya. Pada akhirnya sama saja dengan fungsi pemerintah. Balik lagi ke awal, kita butuh pemerintah untuk menjadi penengah.

Tapi memang, di sisi lain kita butuh ojek dan taksi online! We even almost can't live without it! Apalagi di Jakarta. Apa yang dilakukan Jonan itu bener tapi ora pener. Ini istilah Jawa. Bener tapi tidak tepat. Langkahnya sesuai aturan tapi hasilnya tidak sesuai yang dibutuhkan. Pertama, pemerintah masih belum berhasil menciptakan kendaraan umum yang layak untuk semua lapisan & menekan angka kendaraan pribadi di Jakarta. Ini menyebabkan kemacetan. Tetapi ojek membantu masyarakat menghindari kemacetan itu. Secara tidak langsung membantu pemerintah mengurangi macet itu sendiri. Kedua, kalaupun ojek dan taksi online diharuskan memiliki STNK kendaraan umum, maka pasti biayanya lebih tinggi. Lalu uang itu kemana? Ke pemerintah? Tentu saja rakyat akan ngomel jengkel. "Mau diapain lagi uang kita? Dicolong lagi?" Ketiga, apa yang ada di paragraf pertama di atas hanya terjadi di negara maju. Dimana pemerintahnya bisa dipercaya akan mampu menjadi penengah untuk mengurusi segala kegiatan masyarakat agar seimbang. Tapi apa kita sudah percaya pemerintah kita dapat menjalankan tugasnya itu? Tentu saja tidak.

Ya yang jadi masalah adalah pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan Jonan, melakukan tindakan sesuai peraturan (melarang kendaraan pribadi untuk usaha), tetapi secara bersamaan Ia tidak mampu memberikan kepercayaan kepada rakyat dalam mengatur uang rakyat dan menjalankan tugasnya sebagai penengah dan penyeimbang kegiatan rakyat.

Beruntung pemerintah kita cepat tanggap dan mendukung ekonomi kreatif. Sehingga ojek dan taksi online tidak jadi dilarang hanya harus ada aturan baru. Salute!

Beberapa menit setelah Menteri Jonan melarang ojek dan taksi online, Presiden Jokowi post tweet ini.

Beberapa menit setelah Menteri Jonan melarang ojek dan taksi online, Presiden Jokowi post tweet ini.

Saudaraku Papua, Kalian Tidak Sendiri

Source: Liputan 6

Source: Liputan 6

Polisi kita rasis? Kalau orang Jawa memakai sorban lalu pawai tanpa helm didiamkan. Kalau segerombolan orang Jawa naik motor dengan suara bising dan merusak mobil orang lain, harus dibuatkan petisi agar polisi kita tegas. Kalau rombongan orang Jawa mengendarai moge menutupi jalan dan membuat macet, dikasih ijin oleh polisi. Giliran orang Papua merayakan ekspresi identitas Papua setiap tanggal 1 Desember, ditangkap dan ditahan.

Sebanyak 306 orang ditangkap secara sewenang-wenang. Bahkan ada 1 penjual batu akik yang bukan bagian dari massa ikut diangkut secara paksa. Selasa malam (1/12), sebanyak 22 orang masih ditahan. Setelah melalui tekanan, katanya akan dibebaskan. Itupun tidak kunjung dilakukan. Bahkan 2 orang akan tetap ditahan hingga Hari Jumat depan. Kenapa polisi begitu keras kepada saudara kita dari Papua dan tidak bisa tegas kepada orang Jawa yang jelas sering menganggu masyarakat umum? 

Saat tanah dan kekayaan alamnya menjadi rebutan tanpa mendapatkan keuntungan apapun, sekarang aksinya (yang tidak rusuh) pun dibungkam. Polisi mengatakan aksi itu tidak sesuai prosedur karena tidak memiliki ijin. Akan tetapi menurut Jeffry Wenda, Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua, dia telah mengirim surat pemberitahuan tiga hari sebelum aksi. Jika polisi mengulur pemberian ijin, maka saudara kita dari Papua tidak bisa melakukan aksinya sesuai tanggal 1 Desember. Tentu saja mereka tetap harus melakukan aksinya di ibukota. Akan tetapi saat mereka melakukan aksi dengan damai, polisi menembakkan gas air mata, menangkap 306 orang, lalu menahannya. Bahkan sekarang belum ada kabar yang adil mengenai penyelesaian kejadian ini. Polisi, kenapa kalian begitu sadisnya? Kenapa kalian begitu tidak adilnya? Mereka itu saudara kita juga!

Teruntuk saudaraku dari Papua, kalian tidak sendiri. Disini kami mendukungmu untuk mendapatkan kebahagian yang selalu kalian impikan. Maju terus untuk meraihnya. Kami di belakangmu.

PS: Terima kasih kepada LBH Jakarta dan KontraS yang selalu ada untuk orang-orang yang hak asasinya dilanggar seperti ini. Mereka menjadi pendamping yang luar biasa hebatnya. Semoga hidupnya selalu bahagia dan terlindungi.

Baca juga:

Kontras: Belum Ada Kabar Baik Tentang Papua

Kesaksian Victor Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat

 

Reformasi Birokrasi di Tangan Menteri Yuddy

I’m excited when I saw this cover of Tempo magazine. Akhirnya mereka membahas Menteri Yuddy Chrisnandi! Seperti biasa, majalah Tempo selalu membuat cover yang menampar. Kali ini menggambarkan Yuddy, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, jualan kursi seperti di bioskop. 

Saya excited melihat Tempo edisi ini karena dalam beberapa bulan ini saya telah banyak membahas masalah reformasi birokrasi. Masalah reformasi birokrasi adalah tugas Yuddy. Namun apakah ia benar menjalankannya? Saya rasa masih jauh dari benar. Ternyata Tempo juga memandang demikian. Dengan segala informasi yang Tempo dapatkan, ada kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan Yuddy.

Read More

Diskusi Reformasi Birokrasi, Bermanfaatkah?

Saya senang sekali Indonesia sudah sangat concern pada banyak hal, tidak hanya concern pada isu-isu populer. Pemerintah mulai melakukan perubahan pada masalah-masalah yang tidak populer namun sebenarnya sangat urgent, contohnya perbaikan birokrasi. Hanya orang-orang tertentu saja yang harus berurusan dengan birokrasi, sehingga sebenarnya keberhasilan pemerintah dalam birokrasi tidak akan membuat pemerintah populer di masyarakat luas. Namun pemerintah sudah menunjukkan niat baik dan usaha-usahanya untuk memperbaiki birokrasi. Disinilah kerja pemerintah yang harus kita acungi jempol.

Birokrasi untuk Kesejahteraan

Birokrasi terdengar sangat jauh dari masyarakat. Kata yang terlalu asing bagi masyarakat umum. Apa ngaruhnya untuk wong cilik? Padahal birokrasi yang baik tidak hanya menciptakan pelayanan publik yang lebih teratur namun bahkan dapat lebih mensejahterakan masyarakat luas. Karena pada dasarnya birokrasi yang baik akan berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk wong cilik. 

Perbaikan birokrasi di negara berkembang seperti Indonesia, secara signifikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan perbaikan birokrasi memiliki kontribusi yang sangat penting dalam mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Tentu saja hal tersebut akan terjadi di Indonesia. 

Bagaimana bisa birokrasi yang baik berujung pada kesejahteraan?

Read More

Sistem Merit

Seperti dalam postingan sebelumnya, sebuah negara membutuhkan pemerintahan yang efektif dan kompeten untuk meningkatkan perekonomiannya. Namun untuk memiliki pemerintahan yang efektif, bebas dari korupsi dan nepotisme, maka diperlukan aparatur negara yang efektif pula. Adanya UU ASN membuat permasalahan ini lebih teratur.

Salah satu hal yang penting dalam menciptakan pemerintahan yang efektif adalah memilih apartur berdasarkan sistem merit. Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen SDM aparatur negara yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Adil dan wajar berarti tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, ataupun kondisi kecacatan.

Untuk mendapatkan pemimpin aparatur dan aparatur yang kompeten dan berintegritas tersebut, harus sesuai dengan prinsip-pripsip sistem merit, sebagai berikut:

  1. melakukan rekrutmen, seleksi dan prioritas berdasarkan kompetisi yang terbuka dan adil;
  2. memperlakukan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara adil dan setara;
  3. memberikan remunerasi yang setara untuk pekerjaan-pekerjaan yang setara dan menghargai kinerja yang tinggi;
  4. menjaga standar yang tinggi untuk integritas, perilaku, dan kepedulian untuk kepentingan masyarakat;
  5. mengelola pegawai ASN secara efektif dan efisien;
  6. mempertahankan atau memisahkan pegawai ASN berdasarkan kinerja yang dihasilkan;
  7. memberikan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi kepada pegawai ASN;
  8. melindungi pegawai ASN dari pengaruh-pengaruh politis yang tidak pantas/tepat;
  9. memberikan perlindungan kepada pegawai.

Walaupun Ahok seorang memiliki ras dan menganut agama yang bukan mayoritas, namun karena ia kompeten dan berintegritas, maka ia pantas menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta. Sebaliknya, seorang yang berasal dari keluarga PNS, beragama dan dari ras mayoritas, namun tidak kompeten dan berintegritas, tidak dapat diterima menjadi pemimpin maupun aparatur negara.