Pengalaman Menyaksikan Final Debat Konvensi Demokrat

Pengalaman Menyaksikan Final Debat Konvensi Demokrat

Hari Minggu, 27 April 2014 lalu, saya mendapat kesempatan untuk hadir menyaksikan Final Debat Konvensi Partai Demokrat di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta. Saya sungguh excited hingga ada yang bertanya kepada saya, "memangnya apa istimewanya?" Oh banyak. Selain saya jadi bangun pagi di Hari Minggu, saya juga jadi bisa menemui berbagai macam hal dalam acara ini yang tidak diliput di tv. Hal baik maupun hal buruk.

Suasana hotel pagi itu penuh sesak seperti suasana konser musik. Tidak anggun, tidak seperti sebuah acara penting. Mungkin karena terlalu banyak supporter. Walau setiap kandidat hanya memiliki 50 kursi untuk supporter, namun banyak tim sukses kandidat yang memasukkan supporter lebih dari 50. Hasilnya banyak supporter yang berdiri dan ramai. Butuh waktu beberapa lama untuk meminta dan bahkan menertibkan para supporter yang berdiri di tengah-tengah untuk mundur dan tidak berisik. Entah kenapa mereka yang tidak memiliki tempat duduk tidak dipersilahkan keluar saja.

Read More

Empat Mata dengan Gita Wirjawan

image (1)

Sejak reformasi 1998, rakyat Indonesia mulai mendapatkan kebebasan memilih dan berpendapat dalam berpolitik. Tahun 2004, 6 tahun setelah reformasi, rakyat akhirnya bisa memilih presidennya secara langsung.

Saya tak mau Indonesia kembali seperti sebelum reformasi 1998. Kembali di jaman dimana kebebasan berpendapat itu sesuatu yang mengerikan dan bahkan tidak mungkin. Saya ingat betul bagaimana reaksi ibu saya saat pemilu tahun 1997. Saat itu saya berumur 9 tahun. Ibu saya keluar dari bilik tempat menyoblos dan ada yang bertanya ibu saya memilih apa. Sambil sedikit terkekeh, ibu berkata, "ya milih apalagi kalo bukan yang itu." Saya bingung dan bertanya kepadanya kenapa harus memilih yang itu? Kata ibu, tidak ada gunanya milih partai lain karena yang menang pasti yang itu juga. Ibu juga mengaku diwanti-wanti oleh seseorang agar memilih partai itu. Ini membuat ibu takut karena sedang sekolah di luar negeri. Saya heran. Ibuku perempuan paling pemberani di dunia ini, kok bisa takut?

Jaman sekarang hal ini sudah tidak ada lagi. Justru kadang tidak disadari masyarakat sebagai suatu kemewahan. Bahwa kita dapat memilih tanpa rasa takut, tanpa pesimis. Tak banyak orang di dunia merasakan kemewahan ini. Karena saya tak mau Indonesia kembali seperti sebelum 1998, maka saya --dan tentu saja seluruh rakyat Indonesia- harus betul-betul mencari informasi, siapa pemimpin yang paling tepat untuk Indonesia? Siapa pemimpin yang tidak akan menyeret kita kembali ke jaman yang mengerikan itu?

Berbagai kesempatan mencari informasi seperti; membaca berita dan sejarah, ngobrol dengan keluarga dan teman, dan lain-lain sering saya lakukan. Namun saya ingin lebih. Lalu sebuah ide muncul di November 2013 lalu. Saya ingin mewawancarai capres dan menulis hasil wawancara saya di blog. Gratis tanpa fee buzzing. Saya melihat Gita Wirjawan yang paling memungkinkan karena beliau dekat dengan beberapa teman saya. Maka saya berkali-kali meminta kesempatan untuk menemui Gita empat mata saja. Akhirnya, awal April lalu kesempatan itu datang. Saya diberi kesempatan bertemu empat mata dengan Gita Wirjawan dan bertanya mengenai apapun. I’m very excited!

Kami sepakat bertemu tanggal 11 April 2014 di suatu tempat di Senayan. Setelah sampai di tempat dan menunggu beberapa menit, akhirnya saya dipersilahkan masuk ke ruangannya. Saat itu beliau mengenakan kemeja batik merah, sport jacket, dan sepatu keds. Kami berjabat tangan dan beliau mempersilahkan saya duduk. Awalnya beliau bingung saya ini siapa. Lalu saya jelaskan saya adalah blogger lulusan ekonomi UGM yang concern pada HAM dan kesejahteraan hewan. Saya pernah menulis tentang beliau dan juga mentions beliau di Twitter mengenai kesejahteraan hewan. Baru setelah itu beliau ingat dan mulai mempersilahkan saya untuk bertanya. Karena waktu yang diberikan sekitar 45 menit, maka saya putuskan untuk bertanya 3 pertanyaan saja.

***

Pertanyaan pertama adalah sesuatu yang sangat penting untuk menilai seorang pemimpin. Di Indonesia, ada dua pandangan terhadap reformasi. Pandangan bahwa reformasi sebagai kemajuan Indonesia atau pandangan bahwa reformasi sebagai kemunduran Indonesia. Bagaimana seseorang memandang reformasi bisa menunjukkan bagaimana orang tersebut menghargai demokrasi. Saya ingin mengetahui bagaimana Gita menghargai demokrasi. Maka dari itu, pertanyaan pertama saya adalah, "Bagaimana Bapak memandang reformasi? Sebuah kemunduran atau kemajuan?"

“Tentu saja kemunduran,” jawab Gita dengan mantab. Saya sedikit bingung dan meminta beliau menjelaskan mengapa menurut beliau reformasi adalah sebuah kemunduran. Beliau menjawab, “Maksudnya dalam segi apa? HAM kan? Kalo dari segi HAM tentu itu suatu kemunduran.” Maka saya jawab, “Ya tentu saja. Selain itu, setelah reformasi apakah menurut Bapak, Indonesia menjadi lebih maju atau justru mengalami kemunduran?

Menurut Gita, Indonesia menjadi lebih maju setelah reformasi. Indonesia menjadi negara demokrasi. Walaupun kata beliau, masyarakat Indonesia masih kurang rasional dalam memilih, tepatnya masih memakai emosi saat memilih. “Namun dari hasil pileg kemarin, masyarakat Indonesia sudah cukup rasional,” tambahnya.

“Lalu bagaimana caranya agar masyarakat menjadi masyarakat yang rasional dalam memilih? Apakah dengan pendidikan?” tanya saya. Beliau menggelengkan kepala. Beliau jelaskan, selain pendidikan, media berperan penting dalam menciptakan masyarakat yang rasional dan cerdas dalam berpolitik atau memilih pemimpin. Beliau memberi contoh pada banyaknya tayangan sinetron, infotainment, dan lain-lain telah menguasai masyarakat dan membuat masyarakat kurang bijak dan rasional dalam berpolitik. Tayangan semacam ini lebih sering muncul di televisi karena dikuasai oleh brand. Brand-brand mengusai tayangan televisi dengan hanya memasang iklan di tayangan yang laku ditonton oleh masyarakat Indonesia. Padahal sinetron itulah yang laku di Indonesia.

Atas penjelasan tersebut, saya bertanya, “Bagaimana caranya menghentikan tayangan semacam itu menguasai televisi Indonesia?” Beliau mengatakan bahwa seharusnya ada peraturan porsi penayangan di televisi Indonesia untuk membatasi agar brand tidak menguasai pada tayangan-tayangan tertentu saja.

Beliau menambahkan, ia mempercayai kinerja strong center dalam kepemimpinan Indonesia. Beliau menjelaskan, strong center adalah bagaimana pemerintah pusat dengan tegas mengendalikan kebijakan fiskalnya (kebijakan fiskal adalah usaha pemerintah dalam mengendalikan pendapatan dari pajak dan juga mengendalikan pengeluaran negara). Jika presiden Indonesia mampu mengendalikan kebijakan fiskalnya dengan kuat, maka ia mampu mengendalikan seluruh Indonesia. Sebagai contoh, presiden memberikan dana kepada pemimpin suatu daerah untuk membangun jembatan. Jika dana tersebut tidak digunakan dengan tepat oleh yang bersangkutan sesuai yang direncanakan, maka dana akan ditarik, tidak akan diberi dana lagi, dan malah yang bersangkutan akan dilaporkan ke KPK. “Harus ada yang namanya reward and punishment,” tambah Gita. Kemudian beliau justru bertanya, "Nah siapa pemimpin yang berani seperti itu?"

Kemudian saya melanjutkan pada pertanyaan kedua, tentang Aksi Kamisan. Saya bertanya apakah beliau mengetahui tentang Aksi Kamisan. Sayangnya beliau belum pernah mendengarnya. Lalu saya ceritakan apa itu Aksi Kamisan dan siapa yang memulainya (bagi pembaca yang belum mengetahui aksi ini, saya pernah menulisnya di sini). Saya ceritakan kepada beliau bahwa Aksi Kamisan dimulai sejak 2007, dengan ratusan surat untuk SBY, tapi hingga sekarang belum juga ditanggapi.

Mendengar cerita tersebut, beliau hanya terdiam dengan memberikan ekspresi sedih. Kemudian saya bertanya, "Jika Bapak jadi presiden, apa yang bisa Bapak lakukan?" Beliau menjawab bahwa minimal ia akan menemui mereka dan dari pertemuan itu akan dilanjutkan dengan rencana apa yang bisa dilakukan pemerintah. Saya penasaran dan bertanya, “Menurut Bapak, kenapa pemimpin sekarang dan sebelumnya tidak mampu menyelesaikan masalah ini?” Beliau katakan bahwa kita tidak perlu memandang masa lalu. Cukup memandang bagaimana ke depannya.

Karena waktu yang sangat mepet, saya harus dengan cepat melanjutkan ke pertanyaan terakhir saya, yaitu mengenai kesejahteraan hewan di Indonesia. Saya tanyai beliau apakah benar beliau baru saja membeli kucing. Beliau membenarkannya dan justru menambahkan bahwa beliau juga memiliki kelinci. Saya tanyakan sekali lagi, apakah beliau memiliki binatang peliharaan dengan cara membeli? Dan beliau mengiyakan. Dengan kecewa saya katakan kepada beliau bahwa seharusnya beliau tidak membeli karena jumlah kucing dan anjing di Indonesia ini sudah over populasi. Beliau pun kaget dan meminta data populasi kucing. Saya janjikan untuk memberikannya di lain waktu. Maka saya sarankan kepada beliau agar beliau mengadopsi, bukan membeli dari breeder. Saya juga katakan kepada beliau, saya mengharapkan masyarakat bisa diajak untuk lebih memilih mengadopsi, bukan membeli hewan peliharaan.

Lalu Pak Gita menjawab bahwa permasalahan ini juga bisa diselesaikan dengan strong center tadi. Pemimpin dengan kebijakan fiskalnya bisa memberikan dana ke pemerintah kota, meminta pemerintah kota menangkap dan mengurusi kucing liar di kotanya. “Misal jika masih saja ada kucing liar di Senayan, maka dana untuk pemerintah yang bersangkutan diambil, diberi punishment,” tegasnya.

Lalu saya menanyakan pendapatnya mengenai wacana adanya badan baru untuk melindungi kesejahteraan hewan. Badan ini yang akan melindungi hewan dari penyiksaan atau penyalahgunaan hewan. Beliau tidak setuju. Beliau mengatakan kebanyakan orang disini selalu menyelesaikan masalah dengan badan baru. Padahal menurutnya tidak perlu. Sekali lagi menurutnya dengan adanya strong center, jika ada pemerintah yang tidak melakukan tugasnya, maka diberi punishment. Baginya, begitu saja sudah cukup. Saya pun bingung. Saya tanyakan kepada beliau, “bagaimana jika ada kucing yang disiksa? Kemana masyarakat dapat melaporkan?” Beliau menjawab, seharusnya dilaporkan ke pemerintah kota. Jika mereka tidak menjalankan tugasnya, sekali lagi akan diberi punishment.

Sayang sekali kemudian beliau diingatkan ajudannya untuk sholat Jumat. Obrolan kita berakhir sampai disitu saja. Setelah berfoto bersama dan berjabat tangan, kami pun berpisah. Saya merasa waktu yang diberikan cukup lama dan cukup banyak yang kita obrolkan. Namun banyak pernyataan beliau yang harus saya hormati untuk tidak ditulis disini.

***

Jika menilik kembali jawaban-jawabannya, Gita telah menggambarkan bagaimana ia akan memimpin Indonesia. Beliau berusaha menunjukkan jika menjadi pemimpin ia akan mengendalikan seluruh pemerintahan dengan strong center atau reward and punishment. Seluruh masalah Indonesia dari tayangan media yang tidak mendidik hingga korupsi akan beliau selesaikan dengan sistem strong center. Karena menurutnya, seluruh permasalahan Indonesia dapat terselesaikan jika pemerintah pusatnya, khususnya presidennya, bisa tegas dalam mengendalikan fiskal. Atau dengan kata lain, seluruh permasalahan Indonesia dapat terselesaikan jika presiden bisa tegas mengendalikan pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya dengan memberikan punishment. Punishment bisa berupa penghentian dana atau pelaporan penyelewengan ke KPK. Sistem strong center ini menurut saya tepat untuk memimpin pemerintahan Indonesia yang selama ini kacau balau atau bahkan banyak penyelewengan. Menurut saya sistem ini akan mendisiplinkan pemerintah dan juga memberikan efek jera. Namun hal ini hanya tercapai jika sistem ini dipimpin oleh presiden yang benar-benar bersih dan berintegritas. Jika tidak, maka justru sistem ini akan menguntungkan presiden yang korup dan diktator.

Jawaban Gita pada pertanyaan terakhir seputar kesejahteraan hewan tidak memuaskan saya. Saya kurang setuju dengan hanya mengandalkan pemerintah kota dan mengandalkan strong center dari pusat. Kesejahteraan hewan tidak hanya seputar pemerintah mengurusi hewan, namun juga perilaku masyarakat terhadap hewan. Adanya strong center tidak akan membantu melindungi hewan yang disiksa oleh pemiliknya, oleh rumah jagal, atau oleh masyarakat yang memburu binatang yang dilindungi. Contohnya kasus kucing yang ditembaki oleh tersangka Dadang. Sistem strong center tak dapat banyak membantu masalah ini. Masyarakat yang peduli tetap kesulitan mencari cara untuk menghentikan dan menghukum tindakan keji Dadang. Oleh karena itu bagi saya, sistem strong center tidak selalu menjawab semua permasalahan Indonesia. Tetap dibutuhkan badan baru untuk melindungi kesejahteraan hewan Indonesia dari segala siksaan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Baru setelah badan terbentuk namun tidak menjalankan tugasnya dengan semestinya, maka sistem strong center sangat dibutuhkan. Sayang sekali hal ini tidak sempat saya katakan kepada beliau.

Namun di luar setuju atau ketidaksetujuan saya terhadap jawaban Gita, saya sangat senang diberi kesempatan menguasai waktu beliau selama 45 menit. Benar-benar 45 menit ekslusif untuk saya.  Untuk itu saya sangat berterima kasih kepada Pak Gita dan timnya. Semoga capres lain juga berani ditemui oleh saya atau blogger lain untuk ditanyai apa pun agar kami tahu keberanian dan kualitas para calon pemimpin kami.

Pulang dari menemui Pak Gita, saya menyeberangi Senayan di bawah terik matahari yang menyakitkan. Namun hati saya gembira. Saya hidup di negara yang hebat. Tak hanya dibebaskan memilih pemimpin tanpa rasa takut, tetapi juga dibebaskan mengorek kualitas calon pemimpinnya dengan berbagai cara. Bahkan dapat menemui langsung untuk menanyakan apapun. Sebuah kemewahan yang tak dapat dirasakan oleh orang tua saya 17 tahun yang lalu.

Hasil Pileg 2014 dan #SotoyPolitik

Me at SotoyPolitikSetelah pileg kemarin, tentu saja banyak yang kaget. Hasil tidak seperti yang diperkirakan. Semua pada tepok jidat terpana. Ternyata tokoh yang diidolakan tak membuat partainya turut menjadi idola. Tak sedikit yang mengatakan rakyat Indonesia sudah mulai rasional, sudah mulai cerdas, nggak bodo-bodo amat. Di #SotoyPolitik, 17 April 2014 kemarin, berkumpulah anak muda membahas pandangannya mengenai politik Indonesia, khususnya hasil pileg 2014. Kami berkumpul di sebuah kafe di Jakarta sambil kopi darat, makan, minum, dan bercanda. Dengan gaya seperti dalam acara Indonesia Lawyers Club TV One, acara ini mempersilahkan semua tamu untuk berpendapat. Seperti kebanyakan pendapat di luar, dalam acara tersebut juga banyak yang mengungkapkan bahwa rakyat Indonesia sudah nggak bodo-bodo amat. Bahwa rakyat Indonesia sudah mulai cerdas dan bijak. Maka dalam kesempatan di acara itu, saya katakan saya kurang setuju jika dikatakan rakyat Indonesia nggak bodo-bodo amat. Walau bukan juga berarti bodo. Tapi menurut saya rakyat Indonesia masih kurang bijak, masih kurang mengingat sejarah.

Hasil pileg 2014 yang menempatkan Partai Golkar di posisi kedua menunjukkan rakyat melupakan bagaimana dahulu Partai Golkar memperlakukan rakyat Indonesia. Dahulu rakyat harus memilih Partai Golkar karena beberapa alasan menyedihkan. Karena takut memilih partai lain selain Partai Golkar atau karena pesimis, memilih partai lain pun yang menang juga akan tetap Partai Golkar. Bahkan di jaman Orde Baru, jaman Golkar, tak mungkin ada segerombolan anak muda berani berkumpul dan dengan bebas berpendapat mengenai pandangan politiknya seperti di #SotoyPolitik kemarin.

Lalu di jaman bebas berpendapat dan berpolitik seperti sekarang, kenapa masih banyak yang memilih Partai Golkar? Kenapa tidak takut pada resiko kembali ke jaman dibungkam? Apakah karena masih banyak yang mengira harus memilih Partai Golkar? Saya  membaca sebuah status Facebook teman ibu saya, bahwa pembantu rumah tangganya mengatakan ia akan memilih Golkar karena itu yang diutus oleh kepala desanya. Apakah hal ini masih banyak terjadi? Jika ya, rakyat masih belum pintar, masih kurang informasi. Atau apakah karena rakyat banyak yang tidak tau masa lalu Partai Golkar? Pemilih muda yang belum pernah merasakan jaman Golkar, mengira jaman Golkar lebih baik dari sekarang? Atau yang terakhir, apakah karena rakyat sudah melupakan dan bahkan memaafkan perbuatan Partai Golkar? Jika ya, kenapa tidak memaafkan partai baru yang terkenal korup, misal PKS atau Demokrat? Kenapa banyak mantan pemilih PKS dan Demokrat berbalik badan dan cenderung memilih partai lainnya? Apakah karena kesalahan kedua partai itu baru saja terjadi sehingga rakyat belum melupakannya? Semua kemungkinan tersebut sangat menyedihkan.

Berbeda dengan pendapat ibu saya. Menurutnya hasil kemarin justru menunjukkan rakyat Indonesia mengikuti informasi. Seperti tahun 2004 lalu, pileg dimenangkan oleh Demokrat dan PKS setelah banyak informasi baik mengenai mereka. Setelah itu Demokrat dan PKS terbukti melakukan berbagai penyelewengan yang merugikan negara. Rakyat mulai meninggalkan mereka dan cenderung memilih PDIP setelah PDIP banyak melakukan tindakan berani. Menurut ibu saya, perubahan pilihan rakyat Indonesia yang drastis ini menunjukkan sebagian besar dari mereka telah mengikuti informasi dan tidak buta politik. Saya setuju. Namun walaupun begitu, urutan kedua tetap Golkar. Apakah rakyat mengikuti informasi namun secara bersamaan melupakan sejarah?

Saya tidak pernah pesimis dengan Indonesia. Bagi saya, Indonesia selalu melangkah lebih maju dan lebih baik. Selalu. Namun jika mengatakan rakyat sudah rasional dan nggak bodo-bodo amat, kok saya rasa masih jauh dari itu. Sebuah tugas yang cukup besar bagi kita semua untuk saling mengingatkan: jangan sekalipun melupakan sejarah. Mari kita saling menyemangati untuk menggali lebih dalam segala informasi mengenai semua calon pemimpin dan wakil kita. Lalu pilih yang terbaik, yang tidak memiliki masa lalu kelam kepada rakyatnya.

PS: #SotoyPolitik akan diadakan kembali. Jika tertarik ikut, tunggu saja kabar terbarunya di @ProvocActive. (:

Partai dan Caleg Pilihanku di 9 April 2014

Hai teman-teman, maaf sudah menunggu rekomendasi partai dan caleg yang terbaik untuk dipilih. Aku membuat ini karena banyak yang nanya. Jika ada yang tidak setuju silahkan. Jika ada yang salah, tolong dikoreksi. Aku Dapil 5 Depok Sleman btw. Bagi yang nggak sama dapilnya, kita hanya sama dalam memilih partai, DPD, & DPR RI.

Untuk partai, aku pilih PDIP. Walau banyak koruptornya, tapi selama ini banyak berita kinerja PDIP khususnya pada toleransi. Partai lain selain terlalu condong pada 1 agama, juga tidak banyak partai yang kuketahui melakukan aksi tegas untuk memperjuangkan toleransi.

Untuk DPD, saya memilih H. Abdul Muhaimin no urut 3, bukan dari partai apapun. Beliau adalah kyai dari Kotagede yang memiliki pesantren. Beliau selama ini memperjuangkan kedamaian beragama, toleransi beragama. Kata ibu, dia suka hengot sama pemuka agama lain. Menunjukkan beliau orang yang liberal. Calon DPD akan bekerja di MPR.

Untuk caleg DPR RI, DPRD DIY, dan DPRD Kab. Sleman, ini yang tricky. Jika kedepannya kita ingin memilih Jokowi sebagai presiden, maka mau tak mau kita harus mendukung semua caleg dari PDIP. Alasanku memilih caleg-caleg berikut ini tidak sekuat seperti alasanku memilih Abdul Muhaimin (caleg DPD) tadi. Alasannya adalah bersih. Untuk DPR RI aku pilih My Esty Wijayati no urut 3. Untuk DPRD DIY aku pilih Bambang Praswanto HP no urut 1. Untuk DPRD Kab. Sleman aku pilih Sri Riyadiningsih no urut 3. Caleg lain bukan tidak bersih, hanya saja ketiga orang inilah yang menurut pengamatan yang terbersih. Silahkan dikoreksi jika mungkin rekomendasi ini salah.

Memilih caleg hanya dari PDIP ini agar PDIP tidak harus banyak koalisi dengan partai lain. Jika koalisi dengan partai lain, nantinya harus memberi kursi mentri pada partai-partai lain yang tidak terlalu bagus, misal yang terlalu condong pada satu agama seperti PKS. Jika tidak koalisi, nantinya Jokowi bisa pilih mentri yang bagus, mentri dengan kemampuan tepat, mentri yang tidak harus dari orang partai. Saya yakin jika Jokowi dan PDIP tidak koalisi dengan partai lain, mereka akan memilih mentri yang tepat. Tidak terpaksa harus milih mentri dari partai koalisi seperti yang telah dilakukan SBY sekarang.

Memang dilema jika caleg dari PDIP tidak begitu meyakinkan. Tapi gimana lagi, ini agar saat Jokowi memimpin nanti tidak keganggu partai-partai berlatar belakang pelanggar HAM, berlatar belakang fanatik agama, berlatar belakang Orde Baru.

Memilih itu tricky, sulit, penuh perjuangan. ): Tapi jika kita menuntut pemimpin berjuang untuk kita, kitalah yang terlebih dahulu berjuang memilih pemimpin yang tepat. Berjuang memilih yang terbaik walau mungkin semua pilihan buruk.

Selamat memilih teman-teman. Terima kasih sudah bertanya, peduli, meluangkan waktu, dan pikirannya untuk pemilihan hari ini. Mari kita berpesta demokrasi. Suatu kemewahan yang tak banyak orang di dunia ini dapat merasakannya.

Mengkritisi Gita Wirjawan

Calon pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki track record baik, yaitu tidak memiliki masa lalu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Hal paling utama untuk menjadi seorang pemimpin adalah ia harus mencintai makhluk hidup, apapun mereka. Sehingga bagi saya, masa lalu seorang calon pemimpin harus bersih dari segala pelanggaran HAM dan tidak tebang pilih karena perbedaan. Selain itu, seorang pemimpin harus sudah selesai dengan dirinya sendiri yang artinya tidak memiliki keinginan apapun untuk dirinya sendiri. Dia sudah puas dengan pasangan hidupnya, dia sudah merasa sangat kaya dengan hartanya, dia sudah merasakan berbagai keberhasilan sehingga tidak membutuhkan pengakuan, dan yang terpenting seluruh mimpinya sudah tercapai sehingga waktunya mewujudkan mimpi orang lain, kepentingan makhluk lain.

Baru-baru ini muncul capres baru yaitu Gita Wirjawan. Banyak yang tidak mengenalinya dan banyak yang sinis karena tiba-tiba ia sering muncul di iklan. Tugas kita mencari informasi lalu share untuk bekal mengkritisi dan memudahkan menentukan pilihan di 2014 nanti. Apakah Gita memiliki track record yang baik? Saya belum berani menjawab. Mari kita nilai bersama-sama.

Dalam kariernya di pemerintahan, sedikit pujian dan banyak kritikan untuk Gita. Pujian untuknya adalah saat ia menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan berhasil mencetak angka investasi asing tertinggi sepanjang sejarah pada tahun 2012 kuartal I. Ini menarik bagi saya karena investasi asing merupakan topik skripsi saya. Dalam skripsi saya menemukan bahwa pertumbuhan investasi, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) dari tahun 2000:I hingga 2010:IV masih rendah. Jika pada tahun 2012 Gita mampu meningkatkan investasi asing, artinya ia mampu menciptakan kebijakan yang menyebabkan pihak asing mempercayakan dananya masuk di Indonesia. Investasi asing sangat dibutuhkan oleh negara berkembang seperti Indonesia. Sebab invetasi asing merupakan modal yang sangat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat berujung pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.

Kritikan untuk Gita adalah saat menjabat Mentri Perdagangan. Keputusannya untuk mengimpor dipandang merugikan pedagang lokal. Beberapa merasa para pedagang lokal lagi-lagi dikalahkan oleh pedagang asing. Namun perlu diingat bahwa impor adalah solusi permasalahan pasar domestik.  Dimana permintaan barang lebih besar daripada penawaran, yang membutuhkan tempe lebih banyak dari yang memproduksi tempe. Pedagang lokal tidak mampu memenuhi permintaan pasar domestik, sehingga untuk memenuhinya maka pemerintah harus mengimpor berbagai barang sesuai permintaan tersebut. Ini bukan pemerintah tidak melindungi pedagang lokal, hanya saja pemerintah harus memenuhi permintaan pasar dalam negri. Tidak mampunya pedagang lokal memenuhi permintaan pasar domestik disebabkan oleh kegagalan produsen kita dalam memproduksi hasil bumi. Jadi jika kita ingin melindungi pedagang lokal, maka dimulai dengan melindungi produsen dalam negri.

Sementara kritik tajam untuk Gita juga datang dari berbagai kalangan pecinta lingkungan, termasuk dari sebuah grup band asal Bali yaitu Navicula. Mereka mengkritisi Gita pada saat di #IMAYouth. Mereka merasa Gita hanya mengagungkan tingginya tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) dan tidak menyentuh kondisi manusia dan alam yang terus dieksploitasi. Saya sendiri setuju jika angka PDB penting untuk mengukur kesejahteraan rakyat. Akan tetapi kesejahteraan tidak hanya dipandang dari bagaimana tingginya tingkat pendapatan rakyat namun juga bagaimana rakyat dan alam bebas dari eksploitasi. Seharusnya Gita tidak hanya memikirkan keadaan PDB Indonesia saja tetapi juga keadaan manusia dan lingkungannya. Jika Gita sudah merasa Indonesia berhasil meningkatkan pendapatanya, berarti PR pemerintah berikutnya adalah melawan eksploitasi. PR yang mudah jika bangsa ini dipimpin oleh pemimpin yang pemberani. Saya tidak tahu apakah Gita sosok yang pemberani. Namun jika Gita ingin memimpin bangsa ini, seharusnya ia mampu menunjukkan keberaniannya. Satu hal yang belum ia lakukan selama ini.

Lain halnya dengan kehidupan pribadi Gita yang tidak bisa banyak saya ketahui dan kritisi, selain ia memiliki 1 istri dan 3 anak. Kehidupan masa mudanya memiliki ayah yang bekerja menjadi dokter World Health Organization (WHO) di India dan Bangladesh dan kakek yang mendirikan sebuah sekolah besar di Yogyakarta. Selain itu, ternyata sahabat ibu saya adalah sepupu Gita. Ia mengatakan, Gita terbiasa hidup di luar negri karena ia mengikuti ayahnya yang sering bekerja untuk WHO tersebut. Setelah ayahnya selesai bekerja dan pulang ke Indonesia, Gita memilih untuk melanjutkan kuliah di Amerika Serikat hingga S2 di Kennedy School of Government, Harvard University! Satu-satunya fakultas yang saya pikirkan saat ini untuk melanjutkan S2 saya. Setelah selesai studi, Gita menjadi pemimpin di berbagai perusahaan internasional ternama seperti JP Morgan. Kata sepupunya, dari kesuksesannya Gita menjadi seorang yang kaya raya.

Dua hal yang selalu dipandang sinis oleh rakyat: kedekatan dengan pihak asing dan kekayaan. Lama hidup di luar negri dipandang tidak mencintai Indonesia. Mungkin benar, mungkin tidak. Namun yang pasti ia memiliki pengalaman hidup di negara maju untuk dapat dicontoh dalam memajukan Indonesia. Begitu juga dengan seseorang yang kaya akan melupakan wong cilik. Mungkin benar, mungkin tidak. Namun seseorang yang sudah berkecukupan maka seharusnya sudah puas dengan kekayaannya. Seharusnya kemudian ia memikirkan kesejahteraan orang lain. Jadi kembali ke Gita, bagaimana ia memanfaatkan pengalaman dan kekayaannya?

Well, Gita belum menyentuh batas pelanggaran HAM yang sangat saya benci. Kehidupan pribadinya juga terasa baik-baik saja. Pengalaman hidupnya seharusnya dapat menjadi bekalnya untuk memajukan Indonesia. Usahanya dalam karier pemerintahan masih dirasa kurang. Dari segala keberhasilan kehidupan dan kariernya, seharusnya ia sudah merasa selesai dengan mimpi dan dirinya sendiri. Jika memang demikian, seharusnya berikutnya ia berjuang mewujudkan mimpi orang lain, mimpi bangsanya. Mimpi bangsanya adalah rasa aman dari ketidakadilan. Kami sudah sangat haus pemimpin yang berani melawan ketidakadilan. Jika dalam websitenya Gita merasa berani lebih baik, maka kami tuntut Gita tidak hanya berani lebih baik dari pemimpin sebelumnya tetapi juga berani menegakkan keadilan. Berani melindungi yang benar dan melawan yang salah. Apakah Gita berani? Kita tunggu segala tindakannya hingga pemilihan nanti. 

Persiapan 2014

Awalnya pilihan pemimpin Indonesia 2014 mendatang mengkhawatirkan. Saya tidak punya pilihan. Bahkan salah satu hasil survey calon presiden (capres) menemukan bahwa suara terbanyak dimenangkan oleh golongan putih (golput) atau tidak memilih siapapun. Ironis ya? Mungkin memang pilihan capres dalam survey tersebut terlalu sedikit dan banyak yang tidak meyakinkan sehingga lebih baik memilih golput. Tapi jika kita golput, tentu tidak menyelesaikan masalah negara dan justru memperkeruh. Karena dengan golput artinya kita menyerahkan masa depan kehidupan kita di Indonesia ini kepada orang lain yang belum tentu lebih bijak daripada kita. Ngeri kan? Walau berat, tapi kita tetap harus memilih yang terbaik walau mungkin semua pilihan terlihat buruk. Ini tak selalu mengenai capres tetapi juga calon legislatif di daerah pemilihan kita. Lalu sebaiknya siapa yang harus dipilih? Teman saya memberi saran yang bijak untuk 2014 nanti: kita harus mencari segala informasi dari seluruh calon pemimpin dan kita  pun akan mampu memilih siapakah yang terbaik.  Setelah melewati masa krisis kepemimpinan, sekarang pun berubah. Semakin mendekati 2014, pilihan pemimpin Indonesia semakin banyak. Tidak hanya banyak, namun juga menjanjikan. Tokoh-tokoh baru yang menyegarkan. Sekarang bukan lagi bingung karena tidak ada pilihan, tapi malah bingung karena terlalu banyak pilihan. Tugas kita memilih yang terbaik pun semakin sulit. Tapi akan semakin ringan jika kita saling berbagi informasi dan pendapat. Bukan sharing secara personal mengenai siapa yang akan kita pilih, tetapi sharing informasi para calon pemimpin kita. Semakin banyak informasi yang kita tulis dan share, semakin nampak baik dan buruknya setiap calon pemimpin. Cara ini membantu kita menentukan masa depan kehidupan di Indonesia ini.

Well, euforia 2014 sudah terasa.  Jadi yuk kita mulai merayakannya! Mulai mencari informasi dan saling membaginya. Ini akan sangat asyik. Lebih asyik daripada tidak peduli dan keseret arus saja. (:

 

Percaya Tempo atau Si Jilbab Hitam?

Kabar mengenai tulisan seorang anonim "Si Jilbab Hitam" yang mencoreng kredibilitas beberapa media besar terutama Tempo membuat masyarakat linglung. Selama ini masyarakat sudah menaruh percaya pada Tempo dan media besar lainnya, namun sekarang mereka pun dikabarkan kotor. Sekotor pejabat korup. Setelah membaca dan mendengar kabar ini, pasti banyak yang bertanya, siapa yang harus dipercaya? Banyak yang menganggap jaman sekarang makin edan karena makin sulit menentukan siapa yang harus dipercaya. Sebenarnya jaman tidak makin edan. Jaman sudah edan sejak dulu. Hanya saja di jaman kita, tak ada yang dilarang untuk berpendapat dan menentukan pilihannya. Itu yang membuat jaman ini seperti lebih rumit. Tetapi kita beruntung hidup di jaman yang segala informasinya bisa kita dapatkan dengan mudah, tanpa takut menyebarkannya atau turut menentukan sikap. Hanya ada satu resiko yang harus kita tanggung pada jaman ini: kita harus jago menyikapinya.

Kita tidak perlu sinis dengan jaman ini, atau bahkan skeptis lalu memilih mundur tidak peduli. Justru banyaknya polemik, berita simpang siur, atau berbagai perseteruan yang kita temui itu memberi kita pelajaran berharga. Bahwa tak ada seorang pun di dunia ini yang benar dan bersih. Tak ada seorang pun. Hanya saja setiap orang memiliki perjalanan hidup yang bisa dinilai dan menjadi pegangan kepercayaan kita. Seperti bagaimanapun politikus ingin menjatuhkan nama Jokowi, tapi ia memiliki lebih banyak masa lalu yang baik. Atau bagaimanapun Aburizal Bakrie ingin mencitrakan dirinya, tapi ia memiliki lebih banyak masa lalu yang buruk. Ini dia yang terpenting, mempercayai suatu pihak tidak hanya yang mereka lakukan pada saat ini saja, tetapi juga masa lalunya, track record-nya.

Awalnya menanggapi berita buruk mengenai kredibilitas Tempo amat sulit. Tentu saja ada kesedihan. Media kesayangan yang selama ini memiliki data mengejutkan mengenai praktik curang para penjahat negara ternyata jahat juga. Media yang selama ini berani menyebarkan kebusukan pemimpin dan politisi ternyata busuk juga. Media yang selama ini mengolok para pencuri uang rakyat di cover majalahnya sekarang menjadi bahan olokan juga. Tapi perlu diingat lagi, Tempo selama ini memiliki data-data mengejutkan yang membuka informasi kepada kita maupun aparat negara. Tempo selama ini berani menyebarkan data tersebut agar para penjahat lebih takut melakukan aksinya. Tempo pun selama ini menciptakan cover yang mengolok penjahat-penjahat itu dan membuat kita semakin berani turut menyudutkan agar diadili. Tempo telah membeberkan informasi dan menghidupkan alam demokrasi maupun keberanian masyarakat. Setelah menilik kembali karya-karya Tempo selama ini, untuk sementara berita kebusukan mereka belum mengalahkan track record baiknya. Apalagi berita busuk tersebut hanya ditulis oleh seorang anonim dari antah berantah.

Review Film: Make Money

Sulit mempercayai film Indonesia, apalagi film yang tidak diadaptasi dari novel ternama atau sejarah. Biasanya film Indonesia yang tidak diadaptasi itu memiliki alur cerita yang tidak karuan dan mudah ditebak. Detail penting tidak diceritakan secara jelas, namun detail tidak penting sering muncul dan membosankan. Lokasi adegan juga kadang tidak seperti di Indonesia atau tidak sewajarnya yang ada di Indonesia. Karakter hanya dimiliki oleh pemain utama, sementara pemeran pembantu tidak dipedulikan. Apalagi beberapa sutradara tidak mampu memberikan arahan bagaimana aktor harus bersikap sewajarnya saat kaget, marah, senang, atau bahkan saat mendengarkan lawan mainnya berbicara. Dari hal-hal dasar semacam itu, kebanyakan film Indonesia masih gagal. Itulah mengapa saya sering malas nonton film Indonesia. Sorry. Tapi jika film itu bagus, saya rela nonton di bioskop hingga lebih dari 2 kali.

Tapi hari ini dengan berbagai alasan, saya jadi nonton Make Money. Alasan utama menonton film ini karena mengetahui Pandji Pragiwaksono adalah pemain utama. Seperti biasa, saya sudah underestimate duluan. Ah paling film komedi Indonesia yang nggak jelas seperti biasanya. Tapi saya salah. Eh bahkan salah banget.

Make Money menceritakan tentang bagaimana kita menghargai uang dan cara mendapatkannya. Ada yang bilang karakter film ini seperti karakter film Adam Sandler. Saya setuju. Bukan meniru tetapi film ini memiliki jenis cerita yang sama dengan film-film Sandler. Dimana tokoh utama mendadak mendapat masalah dan berusaha menyelesaikannya walaupun banyak hal aneh yang harus dilalui. Benar kata Pandji, "enggak usah nyari pelajaran apa yang bisa diambil dari film ini. Anggap saja kalian lagi piknik. Senang-senang saja." Yup! Pelajaran hidup dalam film ini sudah sering kita dengar. Namun film ini mampu membuat suatu pelajaran hidup sederhana menjadi sebuah cerita rumit yang kocak dan tidak terduga.

Berulang kali saya membisiki teman saya, "ternyata bagus ya" atau "hah trus nanti gimana dong?" Ada beberapa adegan yang bikin saya terpingkal-pingkal seperti adegan laba-laba atau bikin nggak tega melihat adegan Putut (Albert Halim) minum dari gelas Odi (Ence Bagus). Saya sangat terhibur. Film ini berhasil membuat cerita yang menarik dan mengejutkan namun dikemas seperti kehidupan nyata di Indonesia. Semua pemain memainkan perannya dengan sederhana tapi itulah yang seharusnya. Seperti Pandji yang menjengkelkan, Putut yang gay, Ernest Prakasa yang tadinya teman baik jadi jahat, Ucok Baba yang bossy, dan Pak Yadi (Tarzan) yang pikun. Karakter mereka kuat namun akting mereka tidak berlebihan. Jokes dan kejutan dalam film ini pun baru dan belum pernah saya temui dalam cerita manapun. Apalagi ditambah lokasi-lokasi adegan yang terasa tak asing di sekitar kita. Dari semua kesederhanaan dan kejutannya membuat film ini menjadi apik dan menyenangkan. Seperti piknik di tempat asik yang sayang untuk dilewatkan. Apakah saya mau menonton lagi? Tentu saja!

Pluralisme Menyamaratakan Agama?

Beberapa bulan lalu salah satu pembaca blog ini mengirim email untuk mengajak diskusi mengenai pluralisme. Saya senang sekali membacanya. Ini pendapat sekaligus pertanyaan darinya:

Definisi pluralisme seperti di atas sering ditemui di masyarakat kita. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mendefinisikannya demikian. Sepertinya pluralisme didefinisikan dengan kekhawatiran sehingga berakhir pada kesimpulan yang kurang tepat.

Sejak jaman dahulu perbedaan selalu menyebabkan banyaknya konflik dan korban. Konflik dan korban inilah yang mendorong nenek moyang menciptakan teori cara hidup dalam perbedaan, yaitu pluralisme. Jika kita merunut kembali dengan jeli, pada awalnya teori pluralisme itu ada karena adanya perbedaan. Teori ini ingin melindungi perbedaan. Kita diajak untuk mengakui bahwa perbedaan adalah sesuatu yang alami dan bukan untuk dibuat menjadi seragam. Kita diajak untuk menghormati pilihan orang lain yang berbeda dengan kita. Jika kita berhasil mengakui dan menghormati perbedaan, maka secara alami kita tidak akan ingin mengubah perbedaan tersebut. Secara alami hidup kita akan damai walau bertemu dengan banyak perbedaan. Itulah maksud baik dari pluralisme. Tak terkecuali pluralisme agama.

Pluralisme agama tidak pernah bermaksud untuk menyamaratakan agama, tetapi menyamaratakan hak setiap individu. Setiap individu memiliki hak yang sama walau berbeda keyakinan. Perlu digaris bawahi, pluralisme agama bukan untuk mengurusi keyakinan tiap individu Keyakinan dan pluralisme agama adalah dua masalah yang berbeda. Keyakinan adalah sesuatu yang ada dalam hati kita, sementara pluralisme agama adalah cara untuk berhubungan baik dengan masyarakat yang penuh perbedaan keyakinan. Memang sudah sepatutnya setiap orang meyakini bahwa agamanya adalah agama yang terbaik dari segala agama. Tak seorang pun boleh mengubah keyakinan tersebut. Tetapi sudah sepatutnya pula setiap orang mengakui bahwa orang lain memiliki hak yang sama walaupun memiliki keyakinan yang berbeda. Tak seorang pun boleh mengubah hak tersebut.

Selama ini yang sering terjadi, kita memperlakukan orang lain berdasar keyakinan mereka. Kita memberi hak orang lain berdasar keyakinan mereka. Contoh yang sering terjadi, seorang pemimpin harus beragama X karena di daerahnya mayoritas beragama X. Atau penganut agama Q tidak diperkenankan beribadah karena di daerah itu mayoritas beragama X. Padahal setiap individu memiliki hak untuk menjadi pemimpin atau beribadah, apapun agamanya. Hal-hal tersebut dapat mengusik perdamaian bermasyarakat. Sekali lagi, disinilah pluralisme muncul mengajak kita untuk tetap berpegang teguh pada keyakinan kita, tetapi juga tetap menjunjung tinggi bahwa hak setiap individu itu sama. Itu saja, sesederhana itu.

Jadi untuk Anda yang khawatir bahwa pluralisme agama akan menyamaratakan agama, tak perlu khawatir. Bukan agama yang disamaratakan, namun hak setiap individu lah yang harus disamaratakan apapun agamanya. Pluralisme agama ada untuk melindungi keyakinan setiap orang, termasuk keyakinan kita. Pluralisme agama ada agar tidak ada penindasan karena keyakinan yang berbeda.  Dengan mengakui hak setiap orang itu sama, maka kehidupan bermasyarakat yang penuh perbedaan akan damai karena tak seorang pun lebih berkuasa atau tertindas.

Indonesian Minister of Forestry: Please Save Surabaya Zoo

 

Her name is Melani, a Sumatran Tiger in KBS (Surabaya Zoo), Indonesia.

She is undernourished, you can see her skin clinging to her bones. At her age, a healthy feline should weighted at 100 kg, but Melani is 60 kg. Her days are spent laying helpless on the cage floor. Almost every food she consumed was eventually vomited a few moments later, and diarrhea is preying for her life. The only trace of her soul is her fierce eyes seeking for your help. Melani is not the only one. Last month, a male tiger Razak died after lungs disease due to tiny and unsanitary cage. Many are now concerned Melani will die soon, or she might face euthanasia. Ironically there are only 600 Sumatran tigers left in Sumatran forests.

In March 2012, the only giraffe in KBS died in her cage after her stomach was filled with plastic garbage. The giraffe and other animals in KBS do live under inhumane condition: tiny cage filled with garbage and inadequate sunlight. Some of them does not have shelter after their cage was leased as rooms for humans, and leafy trees to shade was occupied for witchcraft clinic.

The revised Indonesian penal code article 302 clearly indicates that animal owners are responsible for the welfare and safety of their animals, this includes giving a good care and feed them. Negligence for the animal’s wellbeing, and causing them to be ill and hurt are a violation of the code and punishable for 2-7 years prison and penalty up to 10 million rupiah.

While an ad hoc management team to rescue KBS has been appointed, the pictures and videos of Melani in terrible condition indicates the management is not doing enough. What happened to KBS management? Why many animals in still in poor condition? Internal conflicts within the organization could be the driving factor, but animal welfare should always be the main concern. Therefore we request Indonesian Minister of Forestry, Zulkifli Hasan to save the animals in KBS and have them nurtured as instructed in Indonesian penal code (KUHP) article 302 on animal welfare.

We ask you to join the petition to support the Minister of Forestry to act immediately and save the animals at the KBS zoo. Not only because they are endangered, but also because they are a living being like us that can feel pain and fear. Let’s speak up for those who cannot speak.

Related News:

Jerapah Mati, Kebun Binatang Surabaya Salah Urus

Jerapah Kebun Binatang Surabaya Akhirnya Mati

Satu Harimau Kebun Binatang Surabaya Mati

Harimau Kebun Binatang Surabaya Diare

Harimau Kurus Kering di Kebun Binatang Surabaya Disorot Australia

Harimau di Kebun Binatang Surabaya Hadapi Euthanasia

Data Terkini Jumlah Harimau Sumatera

Revisi Pasal 302 KUHP Tentang Perlindungan Hewan

Video of Melani by Jonathan Latumahina (@tidvrberjalan)